NASKAH
SINDHEN
Ditulis
oleh : Heru Kesawa Murti
Penokohan:
Semi :
Sinden yang mempesona.
Panjang :
Suami Semi yang sensitive.
Guru :
Pimpinan para dewa di khayangan.
Narada : Dewa khayangan, wakil Guru.
Yamadipati : Dewa khayangan pencabut
nyawa
RL Tanpasembada : Kepala desa Watugundul
Isteri Lurah :
Isteri yang suka cemburu.
Genjik : Carik, wakil kepala desa.
Sawi :
Staf kepala desa yang agak bodoh.
Wartawan :
Pemburu berita yang suka disuap (perempuan)
Orang gila :
Warga desa yang terganggu jiwanya
Warga
I : Perempuan
Warga
II : Perempuan
Anak
– anak : : Nikita
: Zaskia
: Melinda tentatif,
menyesuaikan isu aktual
: Cantik
: Mulan
Abdi
khayangan : Dapat diperankan oleh laki – laki atau digantikan oleh perempuan
(Opening)
Lampu redup, terdengar alunan lembut
gamelan, sorot lampu hanya terfokus pada siluet tubuh Semi yang sedang berdandan
dan siap – siap berangkat nyinden. Semi melantunkan tembang, berpakaian dan
menggelung rambut. Kemudian, Semi keluar dari balik layar menuju ke tengah
panggung pertunjukan, mengadakan interaksi seolah – olah ia akan mulai nyinden.
Tiba – tiba, muncul dari sisi panggung lainnya gerombolan warga – warga yang
ingin menyaksikan penampilan Semi malam itu. Kecantikan dan pesona alami Semi
yang tak terkalahkan, menjadikan warga desa Watugundul memuja dan menunggu
penampilan sinden itu, hingga akhirnya suasana menjadi kacau dan tak
terkendali. Kerumunan mulai berkurang, di tengah panggung hanya ada Semi dan
Warga Desa I yang tergila – gila pada Semi. Warga Desa I linglung berhadapan dengan Semi yang cantik,
hingga akhirnya Semi meninggalkan Warga Desa I itu sendirian di tengah
panggung. Warga Desa I merasa kasihnya tak sampai, dan ia menjadi gila.
~SATU~
( Khayangan pada suatu hari )
Syahdan
sang Dewa Guru tengah gelisah, perasaannya tak seperti biasa. Ada sesuatu yang
sedang bergejolak di dalam hatinya, yang kini lebih menyerupai gerak jarum yang
lamban. Dia tak bersantap beberapa hari ini. Seperti hendak kedatangan suatu
petaka, wajahnya cemberut dan berulang kali berjalan mondar-mandir mengelilingi
ruangan paseban. Tak lama, tapi kemudian rasanya seperti mendapatkan sesuatu
yang melegakan, dia duduk di singgasana dan menyuruh seorang abdi untuk
memanggil Paman Narada menghadap.
Paman
Narada datang tergopoh-gopoh.
NARADA : (Terbata
bata) Sembah di hadapan Adhi Guru, saya Pamanda Narada datang menghadap.
Titah apa yang hendak Adhi Guru berikan kepada saya ?
GURU : (berwibawa) Duduklah yang enak Paman Narada. Saya ingin
berbincang-bincang kepadamu.
NARADA : Ho,
ho, ho. Ampun junjungan para dewa di khayangan, apakah Adhi Guru selalu melihat
saya selalu mengecewakan paduka ?
GURU : (Tertawa kecil) Saya tak pernah melihat Paman Narada tidak
menepati janji. Tapi paman, memang ada sesuatu hal yang ingin sekali hendak
saya bicarakan kepada paman.
NARADA : (Menyembah) Dengan senang hati, Adhi
Guru.
GURU : (Berdiri memandang keluar) Paman……
NARADA : Saya, Adhi Guru.
GURU : Apakah paman tidak melihat bahwa khayangan ini sudah mulai lagi tak
bisa memberikan sesuatu yang berarti. Para dewa penghuni khayangan sudah
kembali lagi seperti mesin, mereka hanya bisa bekerja bila ada proyek. Dilain
pihak, justru di khayangan inilah terletak tanggung jawab untuk memberikan suri
tauladan dalam melakukan sesuatu yang berarti bagi kehidupan masyarakat di
Marcapada. Dan itu bukan sekedar menunggu proyek, paman. Bukan pula sebuah
program atau surat perintah kerja.
NARADA : Aduh,
Adhi Guru alangkah tak berartinya saya bila Adhi Guru merasa gelisah melihat
tanda-tanda itu.
GURU : (Duduk kembali) Paman, aku takut mereka justru akan berubah
menjadi stereotip dan mekanis. Paman lihat sendiri, mereka sudah mulai mandul,
tidak memiliki kreativitas kerja yang prima. Yang mereka kerjakan cuma meminta
tanda tangan saya, update acara khayangan di twitter, menumpuk tugas – tugas
stilistika di meja mereka, main-main gadget, sibuk BBMan, dan bahkan ada yang
berlomba-lomba membuka pintu mobil saya setiap saya akan pulang. Kadang-kadang
ada yang cuma main catur, upload foto di instagram, biar tak ada kesan
menganggur sebelum jam kantor habis. Paman, itu sudah mengkhawatirkan.
NARADA : (Mengangguk angguk) Saya mengerti, Adhi Guru.
GURU : Saya sampai dibuatnya heran, paman. Mereka ternyata terlalu manja
dengan kedudukannya. Menganggap bahwa khayangan selalu menentukan, selalu
memutuskan tanpa memberikan penghargaan sama sekali pada prestasi orang-orang
Marcapada. Saya berpendapat itu tak ubahnya seperti bebek-bebek yang congkak.
NARADA : Saya mengerti, Adhi Guru.
GURU : Mental mereka mesthi dirubah paman, sebelum khayangan sendiri
ambruk karena sudah tak sanggup lagi menahan beban para dewa yang korupsi,
memanipulasi ide, sombong kedudukan, lahap pada proyek, program, yesmen.
NARADA : Saya mengerti Adhi Guru.
GURU : Saya justru merasa bodoh oleh orang-orang Marcapada yang kaya akan
kreativitas, kaya potensi dan memiliki prestasi besar sekalipun mereka tak
selalu memperoleh fasilitas yang baik untuk mengembangkan itu seperti yang di
peroleh para dewa-dewa di khayangan.
NARADA : Saya mengerti Adhi Guru.
GURU : Dan kita memang harus mengangkat mereka untuk memberikan dan
menyumbangkan kemampuan mereka sebagai cermin buat para dewa.
NARADA : Saya mengerti Adhi Guru.
GURU : (Heran dan kaget) Lho ! kalau demikian
paman-pun juga bebek ?!
NARADA : (Tergagap-gagap)
E..e..e..e, maksud saya, saya amat setuju dengan apa yang dipikirkan Adhi Guru.
GURU : Na, itulah yang namanya klise !. jawabannya seperti di cetak dan
diulang-ulang. Dan bebekpun seperti itu.
NARADA : Mohon
ampun Adhi Guru. Tapi kalau Paman Narada ini boleh tahu, rencana apa yang
hendak Adhi Guru bicarakan ?
GURU : (Memandang Narada dengan berwibawa) Apakah paman pernah mendengar
seorang sinden bernama nyonya Semi dari Marcapada ?
NARADA : (Menyembah)
O, paduka junjungan para dewa di khayangan, Paman Narada baru menduga-duga,
mungkin itu yang hendak dibicarakan Adhi Guru.
GURU : (Datar) Suaranya ampuh, paman. Hingga bergetar rasanya
khayangan mendengarnya. Dia contoh orang yang punya prestasi besar, mencintai
pekerjaannya. Yang jelas, saya tahu apa yang hendak kita lakukan dengan
prestasinya yang besar itu.
NARADA : (Menyembah) Maksud Adhi Guru ?
GURU : Boyong Sindhen itu ke khayangan.
NARADA : Tetapi menurut hemat kami, rencana Adhi Guru
itu…
GURU : (Memotong) Segera akan saya buatkan surat keputusan dan
sekaligus surat perintahnya. Sinden itu memang layak untuk bisa berkembang,
tidak hanya untuk Marcapada dan khayangan, tetapi juga untuk seluruh semesta
yang terbatas ini. Biar khayangan yang akan menggodog lebih matang lagi, Paman
Narada.
NARADA : Ho,
ho, ho, itu memang sebuah prospek yang bagus, Adhi Guru. Sekaligus bisa
mengembangkan lagi nama khayangan.
GURU : Dalam pikiran saya, bukan hanya nama semata-mata, Paman Narada.
Tetapi juga sebuah tanggung jawab dan suri tauladan.
NARADA : Tetapi khayangan kiblat Marcapada, paduka Adhi
Guru.
GURU : Paman, tapi saya tak ingin ada kesulitan. Saya tak ingin melihat
Paman Narada pulang dengan tangan hampa.
NARADA : Benar, Adhi Guru. Itulah yang ingin saya
sampaikan kehadapan paduka.
Orang-orang
Marcapada tentu tak akan begitu saja membiarkan Sindhen itu di bawa. Saya sudah
melihat kesulitan-kesulitannya.
GURU : (Kepada Narada) Paman, Panggil Yayi Yamadipati kemari.
Bilang kepadanya ini perintah !
Narada masuk disertai Yamadipati.
YAMADIPATI : (Menyembah) Sembah sujud hamba haturkan
kehadapan paduka Guru.
GURU : Engkau tentu tahu kenapa kupanggil kemari. Ini ada hubungannya
dengan bidang profesi pekerjaanmu. Yayi Yamadipati, maaf, ini mengganggu
kesibukanmu membaca Koran.
YAMADIPATI : Titah
paduka Guru diatas segala-galanya. Hamba segera akan menjalankan apa yang
hendak paduka berikan tugas kepada hamba.
GURU : Kau menyertai Paman Narada turun Marcapada menjemput seorang
Sindhen dan membawanya kemari. Yayi Yamadipati tentu tahu apa yang harus yayi
kerjakan.
NARADA : Yayi, kudengar kau baru saja mencabut nyawa
seseorang.
YAMADIPATI : Baru
kemarin, kanda Narada. Seorang Marcapada yang hendak mengintip orang mandi. (Narada dan Yamadipati membahas orang mandi
tersebut)
GURU : Sudah – sudah! Sekarang, Paman Narada dan Yayi Yamadipati segeralah
berangkat ke Marcapada. Surat keputusan dan surat perintahnya segera bisa paman
ambil di ruang sekretaris jendral khayangan. (sambil mengeluarkan gadget) Saya segera mention dia. Berangkatlah
paman.
Narada dan
Yamadipati segera meninggalkan ruang paseban diikuti dengan wajah puas Guru.
~DUA~
( Desa Watugundul )
Pada
suatu hari yang tenang. Panjang seharian tak berhenti mengawasi kelima anaknya
yang masih kecil-kecil. Mereka nakal-nakal semua. Yang sulung baru berumur 6
tahun, tapi Panjang tampaknya tak punya pikiran bahwa anak itu harus segera di
sekolahkan di kecamatan. Empat orang anaknya yang lain, hampir seluruhnya
berselang satu tahun. Yang bungsu baru saja bisa merangkakitulah sebabnya
Panjang nyaris sepanjang hari tak istirahat. Maka ketika dia mendapatkan ada
sebuah kesempatan untuk mengambil napas, dia segera menggunakan peluang itu
buat mengaso sepuas-puasnya. Panjang kelihatan cemberut, murung, dan simpang
siur.


Baru
saja mau duduk kembali, seorang anak yang lain jatuh dan menangis sambil
berteriak-teriak.
(Berdiri lagi-marah) Apa lagi ini !
(Memandang kedalam rumah) Gusti Allah,
Zaskia !, Zaskia !, apa kamu itu tidak mau peduli sama bapakmu, he. Kan sudah
kubilang, jangan main-main di kandang ayam. Ayo, sana. Mandi !
(Duduk lagi) Yang satu ketimpa ember, yang
satu lagi dilalap kandang ayam. Anak… anak, dasar memang susah di urus.
(Belum lagi selesai,
anaknya yang lain terdengar berlari-lari sambil berteriak -teriak takut dikejar
seekor anjing. Berdiri lagi melihat keluar)
Ya
ampun… Melinda. Kamu memang tidak kapok juga, main-main anjing. Jangan lari,
ayo berhenti ! jongkok !, jongkok ! Nah begitu.
Terdengar anjing itu sudah tidak menyalak lagi, mungkin
sudah lari. Tapi Melinda sudah keburu takut dia nangis mencari emaknya.
SEMI : (Dari dalam) Apa ini ? emak ! emak ! ayo pergi dari sini ! aku
sedang repot !. Sana. Anak itu masih tetap menangis. Sana ! aduh !, dimana
gincunya tadi ? pakne gincunya tadi kamu taruh mana?. Lho, ini lipenstiknya
malah kamu injek-injek. O…. sialan kamu setan cilik !
Dipukulnya anak
itu. Melinda meronta-ronta lagi sambil lari terbirit-birit. Semi keluar
tergopoh-gopoh.
SEMI : (Keluar dari dalam rumah) Tuh, lihat anak-anakmu sekarang
sudah hampir seperti Genjik semua !
PANJANG : Wah ! kamu itu mbok ya ngomongnya jangan
seperti itu. Kasar ! tidak pantes !
SEMI : Tidak pantes ! tidak pantes ! memangnya kamu sendiri kalau ngomong
apa juga pantes ? itu, macam begitu itu jadinya anak-anakmu, itu hasil
didikanmu !
PANJANG : Ya Allah !.... kok malah tiba-tiba aku yang
kamu marahi ?
SEMI : Soalnya kamu tidak becus ngurus anak !
PANJANG : (sabar) Perkara mengurus anak, itukan juga
tugas kita, tugasku dan tugasmu.
SEMI : Jagad Dewa Bathara… nyuwun sabar. Kamu itu memang keterlaluan Pakne
! kamu bisanya cuma enak-enak bikin anak, melek merem rasanya sudah marem. Tapi
kamu ndak pernah merasakan sakitnya aku melahirkan mereka. Sekarang, baru
begitu saja sudah sambat !
PANJANG : Aku itu tidak sambat.
SEMI : Nyatanya, coba lihat, baru saja ditangisi sama anak-anakmu macam
begitu saja sudah gembeng, apa itu namanya tidak sambat. Laki-laki macam apa
itu !
PANJANG : (Berdiri)
Mbokne, kalau mau ngomong itu mbok ya jangan kebablasen. Itu namanya tidak
urus.
SEMI : (Jengkel) Mana yang lebih tidak urus, kamu yang seneng bikin
anak, atau tidak becus ngurus. Atau aku yang sudah susah-susah cari duit untuk
makanmu sama anak-anak, lalu kamu mencoba menyalahkan aku. Mana, mana yang
tidak urus ? ayo mana ?
PANJANG : Kamu memang tidak salah.
SEMI : Lha, gene kamu malah tahu.
PANJANG : Tapi kita kan bisa bicara baik-baik, tidak
asal terus nyantlap.
SEMI : Eh, pak. Sejak dulu aku selalu ngomong baik-baik sama kamu. Kamu
jangan ngilang-ngilangke. Apa kamu tidak ingat, kwajiban mengurus anak itu
tidak hanya perempuan saja, laki-laki macam kamupun mestinya harus bisa ngurus
anak. Tidak hanya laki-laki thok yang bias cari duit. Kalau sekarang kamu
menyalahkan aku soal anak-anak, apa itu namanya bener? Tidak gampang perempuan
itu melahirkan. Sekarang, kalau aku sekarang aku kamu bebani anak-anak, kamu
itu maunya apa, he?
PANJANG : Iya,
tapi kalau kamu tidak ikut memperhatikan anak-anak, terus mau bagaimana? Aku
tiodak melarang kamu nyindhen. Tapi mbpok ya eling, ada masanya untuk
memperhatikan keluarga. Silahkan seminggu kamu tidak pulang. Tapi apa kamu
sesekali tidak punya kesadaran buat dekat dengan anak-anak?
SEMI : (Berang) E....... jadi kamu anggap sepele, kamu anggap hina,
kamu anggap saru ya aku nyindhen itu?
PANJANG : (Sabar) O, tidak. Sama sekali tidak !
apa aku pernah bilang begitu?
(ada
adegan eat bulaga yang dilakukan oleh anak – anak Semi ketika mendengar
perkelahian suami istri itu. Semi marah. à improvisasi pemain)
SEMI : Buktinya, ngomongmu seperti itu, berarti kamu sudah kepingin bilang
bahwa aku tidak boleh nyindhen ya ta?
(Tertawa sinis) O.... tidak
bisa, tidak bisa pakne. Aku tidak goblok untuk kamu rayu supaya aku ngeloni
terus anak-anakmu itu. Kuno! Kolot !
PANJANG : Lho, tidak. Maksudku....
SEMI : (Memotong) Jaman sekarang itu sudah tidak musimnya lagi
perempuan mlungker terus di rumah. Apa..! perempuan itu bukan pitik babon !
bukan cuma disuruh tinggal terus di dapur! Bukan babu! Ingat, ingat! Jangan
kelewatan bodohmu itu !
PANJANG : (Marah) Mbokne, kamu bikin aku jadi
marah !
SEMI : (Menantang) Disangkanya apa aku tidak
marah?!
PANJANG : Setan ! mentang-mentang kamu ya ?!
SEMI : Kalau tidak mentang-mentang sampean mesthi
sudah semangkean!
PANJANG : Nah,
nah, jadi begitu itu perolehannya kamu jadi nyindhen, dicukongi pak Lurah,
terkenal kemana-mana. Sekarang kamu ngenyek sama orang yang pernah mendorong
kamu jadi seperti itu. Apa kamu tidak eling, bahwa dulu kamu gembeng,
merengek-rengek minta dikawini?
SEMI : Soal sindhen itu urusanku, soal pak Lurah itu bukan urusanmu. Aku
sudah terlalu repot untuk mengurusi soal gembeng, dan pikiranmu yang selalu
cengeng itu.
Tiba-tiba
terdengar lagi suara grombyangan.
SEMI : Sudah, kamu urus saja itu. Aku mau pergi!
PANJANG : Kamu mau kemana. Kamu belum bikin bubur untuk
si Tembong.
SEMI : (Berkemas-kemas mau pergi) Apa kamu tidak bisa bikin
sendiri? Laki-laki macam apa kamu itu?
(Ribut sendiri) Mana tadi
tasku, tas N President. Pakne tasku.
PANJANG : (Beranjak) Tas yang mana?
SEMI : Tas yang berisi make up, tolol!
Panjang masuk
mengambil tas. Semi sibuk berdandan. Panjang masuk sambil membawa tas.
SEMI : Taruh sini!
PANJANG : Kalau menaruh tas itu mbok ya hati-hati.
SEMI : (Beranjak, tapi lupa sesuatu) Aduh,
sandalku. Pakne sandal jepitku!
Panjang masuk
mengambil sandal jepit istrinya. Dan keluarga lagi menyodorkan sandal itu
dengan wajah bersungut-sungut.
SEMI : (Geram) Taruh bawah!
Sesudah
mengenakan sandal jepit langsung nyonya Semi beranjak keluar dengan muka sebal.
Panjang duduk menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia merasa heran dengan
perkembangan istrinya yang dianggapnya sudah kelewat batas itu.
PANJANG : (Setengah
klenger) Aduh, nyuwun sabar Pangeran.... Mudah-mudahan sakit ayanku tidak
kumat. Tidak kusangka kalau Semi sekarang jadinya seperti itu. Hh..... kuwalat
aku.
(Kepada penonton) Saudara-saudaraku,
dulu saya memang ngeyel dengan almarhumah Simbok dan mendiang Bapak saya,
kenapa saya mesti mengawini Semi. Nah, seperti inilah wujud kutukannya.
Perlahan-lahan tapi pasti. Memang bukan dunia perempuan yang salah, bukan pula
Semi yang jadinya seperti itu. Yang salah adalah saya karena melanggar pesan
almarhum orang tua saya.
Nikita tiba-tiba
masuk tergopoh-gopoh. Panjang terhenyak kaget.
NIKITA : (Terengah-engah) Cilaka Pak. Cilaka
Pak. Aduh, itu….. si, si Melinda, anu.....
PANJANG : (Cemas) Si Melinda bagaimana?
NIKITA : Anu, Melinda itu...
PANJANG : Mbok ya yang jelas kalau ngomong.
NIKITA : Melinda kecemplung kakus, Pak.
PANJANG : Apa?!
Langsung Panjang
lari masuk terburu-buru diikuti Nikita.
PANJANG : Tobat, tobat. Yang satu selesai, yang satu
nyusul. Edan semua!
~TIGA~
Ruang depan rumah pak Lurah Watugundul.
Raden Lurah Tanpasembada. Bu Lurah duduk
dengan gelisah, wajahnya menyiratkan rasa sebal yang amat sangat. Dia tengah
mendongkol, berang dan marah yang selama ini disimpannya namun tak pernah ada
waktu buat di keluarkan. Hari ini dia sudah tak tahan lagi, seluruh isi dadanya
terasa tak mampu lagi di tekan sabar, dia sepertinya hendak meledak. Tapi Bu
Lurah masih bisa mengendalikan diri.
Pak Lurah keluar dari dalam. Heran
memandang istrinya. Apa yang dilihatnya itu memang membuat tak mengerti, kenapa
sekonyong-konyong isterinya bersikap seperti itu.
RL TANPASEMBADA : Aku
bingung melihatmu akhir-akhir ini, bune. Kalau kamu memang sudah tidak betah di
rumah ini, mestinya kamu bisa ngomong.
BU LURAH : Memang, dasarnya aku kepingin ngomong.
RL TANPASEMBADA : O, silahkan.
BU LURAH : Rumah ini sudah edan.
RL TANPASEMBADA : Jadi itu yang hendak
kamu omongkan?
BU LURAH : Banyak. Tidak cuma itu.
RL TANPASEMBADA : Apa kepingin kamu
rahasiakan lagi?
BU LURAH : Tidak. Aku sudah tidak tahan.
RL TANPASEMBADA : Boleh, kamu memang
boleh tidak tahan.
BU LURAH : Sebaiknya kita memang tidak serumah lagi.
RL TANPASEMBADA : O, itu. Jadi?
BU LURAH : Pak, kamu berat mana. Sindhen itu atau
isterimu dan anak-anakmu?
RL TANPASEMBADA : (Tertawa) Jadi
itu yang bikin kamu bingung?
BU LURAH : Kamu bilang apa?
RL TANPASEMBADA : Itu perkara mudah,
tidak perlu pusing-pusing.
BU LURAH : Kamu bilang mudah, kalau orang-orang desa ini
mulai banyak ngrasani kamu gara-gara Sinden itu.
RL TANPASEMBADA : Orang yang nganggur
memang suka ngrasani, itu biasa.
BU LURAH : Kalau sekarang mereka mulai tidak terima karena suami-suami mereka
gendeng, menjual pohon kelapa, menjual perhiasan isterinya, melalaikan
kehidupan mereka hanya karena tergila-gila sama Sinden-mu itu, apa itu cuma
perkara biasa?. Lalu bagaimana dengan Simin yang menyia-nyiakan bininya itu,
bagaimana dengan Thukul yang sampai hendak menceraikan isterinya, bagaimana
dengan Muji yang sekarang miring?. Apa itu cuma perkara biasa?
RL TANPASEMBADA : Lho, itu kan salah
mereka sendiri.
BU LURAH : Tapi kamu Lurah. Kamu yang memelihara Sinden
itu.
RL TANPASEMBADA : Itu hakku. Urusanku.
BU LURAH : Urusanmu, hakkmu, memang. Sampai-sampai kamu
jual tanah Rejo, kamu jual kebun Bu Arjo, kamu bujuk mereka supaya mau di
jualkan olehmu, lalu duitnya cuma kamu bagi separoh lantas kemana yang lainnya,
kalau tidak kamu pergunakan untuk memanjakan Sindenmu itu.
RL TANPASEMBADA : Soal tanah mereka itu,
bukan urusanmu.
BU LURAH : Ya, bener. Betul. Kamu bener Pak. Dan kamu
memang bener kalau duit hasil penjualan tanah kamu pergunakan untuk memanjakan
Sindenmu. Duit dari mana buat beli gamelan itu, duit dari mana buat beli
seperangkat halo-halo itu? Dari mana?
RL TANPASEMBADA : Itu
urusan lelaki, urusan perempuan di dapur, di ranjang, bukan gamelan, bukan
halo-halo.
BU LURAH : Sampai-sampai kupingmu buntet sama suara-suara
orang desa, ya apa tidak?
RL TANPASEMBADA : Bune,
Sinden itu lahir di desa ini, dia milik desa Watugundul ini. Apa kamu tidak
sadar bila dia sudah merupakan kuwajiban kita buat menghidupkan, menjaga dan
memelihara. Dia milik desa ini satu-satunya.
BU LURAH : (Sinis-tertawa) Hingga kamu lupa sama
anak isterimu ya kan? Ubyang-ubyung kesana-kemari sampai kamu tidak ingat
rumah, tidak ingat sama orang-orang desa. Tidak ingat bahwa kamu itu Lurah.
Kalau aku sudah merasa malu.
RL TANPASEMBADA : Ya, malu-lah. Kalau
itu maumu.
BU LURAH : Iya, memang aku malu. Disangkanya apa aku
terus pasrah begitu saja. O, tidak. Tidak!
RL TANPASEMBADA : Itu memang bagus.
BU LURAH : Sekarang, aku ulangi lagi. Sinden itu atau
isteri dan anak-anakmu.
RL TANPASEMBADA : Aku bukan bocah ingusan !
BU LURAH : Baik, kalau kamu memang bukan bocah, aku minta
cerai!
RL TANPASEMBADA : (Berdiri-congkak) E...........
jadi itu ya kamu punya uneg-uneg?
BU LURAH : Memang, dan itu sudah kurancang.
RL TANPASEMBADA : Aku
memang juga sudah tahu. Apa kamu kira aku tidak sanggup buat mbayar tuntutanmu?
Jangan dikira ya?
BU LURAH : (Sinis) Aku tidak minta kamu bisa bayar
tuntutanku.
RL TANPASEMBADA : Lantas
apa yang kamu maui? Kamu kepingin rumah ini?. Bawa. Kepingin perhiasan yang di almari
itu?. Bawa. Apa lagi?
BU LURAH : O....kamu pikir aku gampangan? Memang buntet
utekmu, Pak!. Kamu tidak ngerti, aku punya kemampuan untuk membeberkan
kebusukanmu itu sama Pak Camat, kamu pikir apa aku tidak bisa mengadu sama Pak
Bupati, he? Aku bisa bayar wartawan biar kebrengsekanmu itu di tulis di koran!
Jelas ?!
RL TANPASEMBADA : (Tertawa
terbahak-bahak)Kamu nglantur, Bune. Sudah, kalau kamu mau nuntut, nuntut
saja di pengadilan, tidak di koran, tidak perlu sama Pak Bupati segala macam.
(Tertawa
lagi) Lucu,
kamu nglucu, bune.
BU LURAH : (Berang) Gusti Allah! Kamu anggap
enteng ya?
RL TANPASEMBADA : Lha
gimana tidak mau nganggap enteng, lha wong ngomongmu saja seperti orang
ngelindur kok.
BU LURAH : (Marah) Kamu kepingin bukti pak? Baik,
saya pikir sayapun berani. Tunggu saja !
RL TANPASEMBADA : Bune, kalau perlu
malah sekaligus ke Pak Gubernur.
(Tertawa)
Atau
numpang sebentar lewat radio.
(Tertawa
lagi)
BU LURAH : E, e allah ! jadi kamu nantang rupanya. Baik,
nanti kalau orang-orang desa ini ramai-ramai nuntut kamu, jangan keder. Kalau
nanti terjadi sesuatu dengan sindenmu, jangan mengkerut nyalimu!
RL TANPASEMBADA : Wo.... ngancam.
BU LURAH : Tunggu saja, Pakne. Lihat nanti!
Bu Lurah
beranjak masuk. Dari luar datang Genjik (carik desa), Sawi (salah seorang
pamong desa) masuk mengiringi seorang wartawan yang hendak bertemu Pak Lurah.
RL TANPASEMBADA : Kamu mau kemana
sekarang ?
BU LURAH : Terserah aku!
Bu Lurah
menghilang, masuk kedalam. Genjik maju.
GENJIK : Kulanuwun, pak Lurah.
RL TANPASEMBADA : (Kaget) Lho,
kamu.
(Kepada yang lain)E...sini, sini.
Masuk.
GENJIK : Kami membawa tamu, pak Lurah. Mbak wartawan.
Sawi dan sang
wartawan duduk.
RL TANPASEMBADA : Waaahh,
rupanya saya kedatangan tamu istimewa ini. Wartawan dari mana, nak?
SANG WARTAWAN : Dari
ibukota, saya ditugaskan dari mingguan TEMPE untuk sedikit mendapatkan sesuatu
dari pak Lirah tentang Sinden yang membikin geger itu, pak.
RL TANPASEMBADA : Kalau
begitu, saudari ini datang pada alamat yang tepat. Saya yang berkompeten soal
Sinden itu.
(tertawa puas)
Dia
itu memang hebat kok, nak! Sudah sepantasnya bila harus dimuat khusus di
majalah bonafid saudari itu. Kalau perlu, di muat untuk satu terbitan istimewa,
semua isinya sinden. Begitu ta nak?
SANG WARTAWAN : (Mengeluarkan
barang-barang keperluannya) Sekarang itu, berita sudah jadi bisnis. Lumrah
ta pak Lurah?
RL TANPASEMBADA : (Tertawa)Genjik,
saudari ini ternyata peka sekali, tidak eman-eman orang membayar dia jadi
wartawan. Nah, apa yang bisa saya berikan kepada saudari?
SANG WARTAWAN : Boleh saya tahu nama bapak?
RL TANPASEMBADA : (Tertawa)
Saya lupa, kita belum kenalan, tiwas sudah ndrojos. Baik! Nama birokrasi
saya Raden Lurah Tanpasembada, nama ndesanya tidak usah, itu bukan berita nak.
Nah, disamping saya ini adalah carik saya, namanya Genjik. Lha, kalau itu, yang
suka cungar-cungir itu, namanya Sawi, salah seorang pamong saya.
SANG WARTAWAN : Pertama
tama pak Lurah, berapa luas wilayah desa ini, berapa banyak penduduknya, berapa
orang yang punya laptop dan tv, berapa orang yang punya kerbau, berapa.....
RL TANPASEMBADA : Lho, lho. Ini maunya
sensus ekonomi apa sensus berita ?
SANG WARTAWAN : Ah
! ini yang kode etik jurnalistik. Fakta memang harus diungkap secara obyektif,
meskipun bisa dibikin-bikin, rak iya ta mas ?
RL TANPASEMBADA : O...
saya pikir mau apa. Genjik, tolong jelaskan pada saudari wartawan ini soal-soal
yang disebutkan itu mengenai desa kita.
GENJIK : Nah, mas, tidak usah pakai buku monografi desa
ya, lha wong bukunya saja udah hilang. Tidak harus persis ta, di bikin-bikin
saja ya?
Genjik
menyebutkan apa yang diketahuinya. Sang wartawan mencatat.
SANG WARTAWAN : Ini
tentu saja ada pengaruhnya kenapa desa ini tiba-tiba saja melahirkan sinden
besar macam Nyonya Semi itu. Pak Lurah. Bolehkah saya tahu apa yang menyebabkan
bahwa sinden itu bisa menjadi demikian masyhur ?
RL TANPASEMBADA : (Tertawa
sombong) Genjik, tolong jawab pertanyaan saudari itu, bagaimana aku
mengelola Semi. Awas, Genjik, jangan coba-coba dikurangi, kalau perlu malah
berbunga-bunga, biar tampaknya gagah.
GENJIK : (Berdehem)Bagai air jatuh di
pelimbahan, bak pisau bertemu gagangnya. Desa ini, mbak wartawan, sejak jaman
moyang kami tumbuh bersama sinden. Mereka tak bisa dipisahkan. Begitulah
semesta jagad raya mengatur kehidupan.
SANG WARTAWAN : (Geleng-geleng
kepala) Jadi dalam arti, bahwasannya Watugundul adalah sinden? Apa tidak
keliru penilaian saya? Soalnya begini pak Lurah, hampir sulit diperoleh bahwa
sebuah desa, sebab telah melahirkan seorang sinden besar, dia menjadi contoh
sebuah dunia kecil yang bernama desa itu, dan sederhana pula tetapi bisa
melahirkan prestasi besar. Dan itu langka. Bahkan mengejutkan. Malah terpaksa
harus mengejutkan.
RL TANPASEMBADA : Ah,
nak, nak. Tulis itu, tulis itu ! Genjik, coba kasih saudari wartawan ini voucher
perawatan di salon yang paling terkenal. Ehm, nak, lanjutkan lagi penilaianmu
itu, jangan rikuh. Ayo !
SANG WARTAWAN : (Setelah
menerima rokok) Dalam mendidik seorang sinden, seperti pak Lurah sudah
selayaknya bila harus berkorban materi maupun waktu, sebab itu demi kebesaran
sebuah desa, dus sekaligus demi identitas budaya kita dan nilai serta semangat
nasionalisme kita.
RL TANPASEMBADA : Tulis
lagi itu, nak. Saya setuju. Pokoknya jangan sampai tercecer sedikitpun ya ?
bagaimana Sawi, kamu mesthi setuju ya? Harus ! dan juga kamu, Genjik.
GENJIK : Memang kok, sudah selayaknya begitu,
tetapi......
RL TANPASEMBADA : Ingat Genjik ! ini mau
masuk koran. Tidak perlu pakai tetapi!
GENJIK : He-eh, pokoknya saya setuju, mbak. Nanti
ditulis ya.
RL TANPASEMBADA : Nak,
nak. Sebagai seorang wartawan, apa pendapat saudari tentang ketenaran sinden
yang saya asuh itu.
Pak Lurah
mengeluarkan notesnya.
SANG WARTAWAN : Ehm,
begini pak Lurah. Saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh pak Lurah
adalah sesuatu yang luhur, sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh orang
seperti bapak. Menurut saya, itu semacam.... panggilan, begitu istilahnya. Jadi
suatu kerja yang penuh pengabdian, tulus, dan tanpa pamrih. E, pak Lurah, pak
lurah, coba tulis itu, tulis ya.
Pak Lurah
menulis.
RL TANPASEMBADA : (Sesudah
menulis) Memang benar, nak. Tiga kali sinden saya itu menang dalam
kejuaraan tingkat kabupaten, dan dua kali tingkan propinsi dan ini yang hendak
direncanakan adalah tingkat nasional. Bagaimana menurut pendapatmu, nak?
SANG WARTAWAN : Begini....
tilis ya pak Lurah. Saya bisa memastikan pasti menang di tingkat nasional,
sebab sebenarnya tidak menangnya yang penting, tapi justru bagaimana prestasi
sinden itu telah mendapatkan kepercayaan penuh dari warga bangsa kita. Sudah di
tulis ta, awas, jangan sampai tercecer !
SAWI : Lho, lho, maaf pak Lurah, lha kok malah
wartawannya pak Lurah ? E,,, nuwun sewu.
RL TANPASEMBADA : Eh, apa iya?
(Kaget,
heran) Oh
hiya, tidak terasa. E, e, e, tapi nak, itu kan ndak apa-apa ya, sesekali
wartawan itu di wawancarai, siapa tahu malah jadi bumbu menarik buat beritanya.
Kode etik jurnalistik kok, ya mbak ya? Ndak apa-apa.
SAWI : O, jadi sekarang wartawan itu malah cari orang
supaya diwawancarai. Wah, hebat itu kang, wartawannya bisa jadi hebat itu.
GENJIK : Lho iya, kode etik jurnalistik kok !
RL TANPASEMBADA : Mh...
maaf saudari wartawan, bawahan saya itu memang suka guyon. Tidak perlu di tulis
ya, itung-itung buat selingan.
Dari luar datang
sinden. Pak Lurah berdiri menyambut. Sinden masuk.
RL TANPASEMBADA : Nah,
ini kebetulan. Perkenalkan nak wartawan, inilah sinden yang menggemparkan itu.
Semi, ini wartawan yang hendak menulis kamu di koran nanti. Itu artinya kamu
memang sudah bonafid, sampai jauh-jauh ada wartawan datang kemari. Ayo salaman.
Mereka bersalaman.
SANG WARTAWAN : Saya
Lenthi, wartawan dari mingguan TEMPE. Saya sudah lima kali dapat penghargaan.
Saya wartawan senior, mbak yu Sinden, eh siapa namanya ?
SEMI : Saya Semi.
RL TANPASEMBADA : A, a. Sindennya belum,
Semi.
SEMI : Nama saya Semi, sinden masyhur dari desa
Watugundul, asuhan Raden Lurah Tanpasembada. Delapan kali menang di tingkat
kecamatan, tiga kali menang di tingkat kabupaten, dua kali menang di tingkat
propinsi.
RL TANPASEMBADA : Begitulah
kenyataannya, nak wartawan. Sunber berita yang lengkap, bukankah begitu Genjik
dan Sawi. Ayo, bilang saja ya.
GENJIK dan SAWI : (Bersama
sama-koor) Ya, pak Lurah. Ya, pak Wartawan.
SANG WARTAWAN : (Tertawa
kecil) Bagus, bagus. Kepada mbak yu Semi, mbak yu telah memperoleh nama
besar sebagai sinden, dalam hal ini, apa resep mbak yu kok langsung bisa
misuwur ?
RL TANPASEMBADA : (Kepada
Semi) Semi, kalau ngomong sama wartawan harus konsisten, runtut. Bukankah
aku sudah kasih kamu brifing buat menghadapi wartawan ?
SEMI : Resep saya, mbak, adalah bangun pagi teratur,
minum susu, mengunyah kencur, ajeh pakai pilis,....
RL TANPASEMBADA : E,
e, e, jangan yang itu njawabnya. Ayo, pakai saja teks yang untuk latihan dulu
itu.
SANG WARTAWAN : Maksud pak Lurah ?
SAWI : Anu mbak, supaya wawancaranya itu lancar dan
sistematik, mbak yu sinden itu sudah di tatar khusus untuk menghadapi wartawan.
Wawancara pakai naskah, begitulah.
GENJIK : Kode etik jurnalistik kok.
SANG WARTAWAN : Kalau begitu apakah ada pertanyaan saya tadi
didalam naskah ?
SEMI : Soal resep? Ada, begini, resepnya adalah satu,
mempunyai kesadaran untuk melestarikan kekayaan kebudayaan bangsa. Dua,
mengabdi sepenuhnya demi kelestarian dan perkembangan kesenian tradisional.
Tiga, memiliki pandangan jauh terhadap usaha memetri kesenian adiluhung.
RL TANPASEMBADA : Sampai tiga saja,
Semi.
Tiba-tiba dari
luar terdengar orang-orang desa berteriak-teriak, mengumpat-umpat pak Lurah,
dan sang Sinden bahwa kedua orang itu telah membuat kacau desa dengan hadirnya
Sinden.
SANG WARTAWAN : (Ternganga)
Siapa mereka itu, pak Lurah. Kedengarannya kok seperti tak terkendali.
SAWI : O, .... itu memang sudah rutin di desa ini, mbak. Itu karena memang membuktikan bahwa segala
sesuatu harus diatur begitu. Semakin orang tidak suka dengan berteriak-teriak
seperti itu, terbukti mbak yu Sinden makin terkenal. Jangan lupa itu sudah
diatur.
~LIMA~
Dua orang warga
desa masuk. Seorang menuntun seorang lagi yang tengah menderita sinthing.
WARGA DESA I : Nah, pak Lurah !, saya tidak terima, abang saya jadi gendeng
seperti ini gara-gara Sinden sialan itu. Dia sudah menjual semua miliknya.
Harta bendanya sudah ludes, keluarganya kocar-kacir lantaran kedanan sinden
itu. Saya tidak terima.
RL TANPASEMBADA : Lho, lho nanti
dulu......
WARGA DESA I : Pokoknya pak Lurah mesti tanggung jawab ! pilih salah satu, desa
ini atau Sinden itu !
ORANG SINTING : Cihui,
Sinden bahenol, bahenol nerkom. Ihik, ihik. Sinden kupeluk, sinden
kukenyut-kenyut, sindennya kenyil-kenyil. Aduh bapa, aduh simbok, hati beta
jadi senut-senut. Duh, Sindenku......
WARGA DESA I : Lihat, pak Lurah, lihat !
SAWI : He ! Kempo ! Itu tidak ada hubungannya dengan
pak Lurah, apa kamu tidak lihat bahwa ini sedang ada tamu !
WARGA DESA I : Tidak ada hubungannya, matamu ! Sinden itu sudah banyak bikin
gara-gara !
SAWI : Lho itu salah mereka sendiri !
WARGA DESA I : Matamu memang merem, kang Sawi. Mulutmu sekarang ngomongnya sudah
lain.
ORANG SINTHING : Kepala
ayam di plintir-plintir, di goreng dimakan dengan minum dawet, jaman sekarang
tak usah mikir-mikir kalau rasanya memang kebelet.
(Tertawa) Sinden, ayo kubopong, mana kamu
Sinden...
WARGA DESA I : Lihat ! buka matamu kang Sawi ! siapa yang
sinthing ini, lihat !
RL TANPASEMBADA : Kempo
! Sudah, aku sudah dengar. Kamu butuh berapa buat menyembuhkan kakangmu ini ?
Eh, Sawi, coba kamu kasih si Kempo ini uang yang sudah saya siapkan itu.
WARGA DESA I : Pak Lurah, itu namanya sudah menyinggung
perasaan.
RL TANPASEMBADA : Ayo,
Sawi, kakangnya Kempo ini memang harus segera di sembuhkan. Kita wajib
menyumbang untuk mereka yang kekurangan.
Sawi maju
menyodorkan uang kepada Kempo. Mula-mula Kempo menolak, tapi akhirnya menerima
juga.
RL TANPASEMBADA : Sumbanganku
punya arti penting untuk proyek kemanusiaan. Uangku ini cukup untuk membawa
kakangmu ke dokter di kota.
WARGA DESA I : Em..soalnya tadi anu, kok pak Lurah, saya memang ndak tahu kalau
harus ke dokter. Terimakasih pak Lurah.
Kempo beranjak
dari tempat itu menuntun orang sinthing yang terus saja ngomel-ngomel.
SAWI : Pak Lurah tidak segan memberikan dana untuk
warganya yang miskin, mas wartawan.
RL TANPASEMBADA : (Kepada
wartawan) Nak, itu jangan kamu tulis. Jiwa sosial tidak perlu kelewat jelas
diperlihatkan. Saya tidak enak.
GENJIK : (Kepada wartawan dan Semi) Pak Lurah
memang benar. Itu beliau lakukan agar jangan sampai nanti timbul kesan
berlebihan. Bukankah begitu mbak yu Semi ?
SEMI : Bagaimanapun juga yang namanya
berlebih-lebihan itu kurang sreg bagi kami orang-orang desa ini, meskipun kami
tahu bahwa mas wartawan sesekali justru penasaran ingin menulis.
RL TANPASEMBADA : (Tertawa)
Sinden saya tepat sekali, nak. Dia ini contoh yang dalam memperlakukan seorang
wartawan. Nah, saya bisa memberikan buktinya. Sawi, kasih sang wartawan ini
yang sudah saya siapkan sejak kemarin.
Sawi menyodorkan
sebuah amplopan. Sang wartawan terheran-heran.
RL TANPSEMBADA : Jangan kaget, nak.
Itu sudah tradisi kami.
SANG WARTAWAN : Itu,
itu……
RL TANPASEMBADA : Harap
dimaklumi, nak. Jauh sebelum ada istilah
wartawan amplop, kami sudah lama sekali punya adat istiadat amplop.
(Tertawa
ramah)
Dan itu harus saudari tulis !
SANG WARTAWAN : Lho,
kok ………..
RL TANPASEMBADA : Jangan
cemas dulu, saudari menuliskan bahwa saudari datang ke desa ini disambut dengan
upacara adat istiadat yang meriah.
(Tertawa
ramah) Itu
maksud saya.
Sang wartawan
tampak mengerti, tersenyum-senyum. Sawi menyodorkan lagi amplopnya. Sang
wartawan malu-malu menerima amplop itu. Tiba-tiba dari luar terdengar lagi
suara orang-orang yang memprotes pak Lurah. Seorang tua masuk tergopoh-gopoh.
WARGA DESA II : (Marah)
Sialan ! Sinden itu memang setan cilik tak tahu diuntung ! Pak Lurah ! anak
saya sudah dibikin celaka sama Sinden itu, dia menggoda anak saya, dan sekarang
anak saya itu mau menjual kebun kelapa saya!
RL TANPASEMBADA : Genjik,
Genjik, Coba kamu ladeni orang ini. Saya sudah capai mengurus soal-soal seperti
itu.
GENJIK : Mengemban titah pak Lurah, saya mau tanya
kenapa anakmu itu tidak kamu larang, kamu kan orang tuanya. Itu soal gampang.
Gampang! Sebab kamu bisa menyelesaikan sendiri. Tanpa harus marah-marah di
sini. Pulang saja, ya?
WARGA DESA II : Pulang-pulang
bagimana. Dia itu mau membunuh saya kalau saya melarang menjual kebun kelapa
itu ! Sinden itu masalahnya sekarang sudah macem- macem.
GENJIK : Kamu sudah tua, dan itu bukan urusan kami,
pulang saja, ya?
WARGA DESA II : Tidak bisa ! Gampang rupanya ngusir orang!
GENJIK : Maap, pak. Tangan saya tiba-tiba jadi gatel!
Pulang, ya?
WARGA DESA II : E
. . . . Kamu kira saya tua-tua begini tidak berani, apa kamu tidak mengerti
saya punya aji-aji Sumur Gemuling, he !?
RL TANPASEMBADA : Sudah,
sudah Genjik. Emh, Sawi, coba kamu kasih bapak ini amplop yang sudah disediakan
untuk perkara seperti ini.
Sawi menyodorkan
amplopan kepada warga desa itu.
RL TANPASEMBADA : Itu
cukup untuk mengganti harga kebun kelapamu. Kasih amplop itu pada anakmu.
Warga desa itu
menerima amplop. Senyum-senyum, sambil bernjak pergi.
RL TANPASEMABADA
: (Kepada
sang wartawan) Nah, itu bukti lagi, nak. Bukti bahwa kami ini kuat sekali
percaya kepada adat istiadat kami. Masih tidak percaya ? Baik. Sekarang saudari
bisa melihat-lihat apa yang sedang kami persiapkan selama ini. Mari saya
tunjukkan sesuatu yang lebih penting untuk ditulis di koran saudari. Semi, kamu
ikut aku. Genjik dan Sawi tinggal disini sementara aku dan Semi mengantar nak
wartawan.
Pak Lurah dan
Semi mengantar sang wartawan. Sawi dan Genjik tinggal. Setelah mereka pergi.
SAWI : Aduh, lega rasanya. Lega sekali.
GENJIK : Yang lega apanya kang ?
SAWI : Untung tadi pak Lurah tidak langsung tanya
soal SPJ.
GENJIK : SPJ apa kang?
SAWI : Ya, SPJ duit yang sudah dikeluarkan itu.
Padahal kuitansinya tidak ada. Aduh, lega aku.
GENJIK : Lho iya, tapi kang sawi mestinya kan harus
kasih laporan ta ?
SAWI : Itu masalahnya. Sebenarnya saya mau lapor
terus terang, tapi Le, aku ada nak wartawan itu, jangan-jangan nanti aku masuk
koran. Padahal, duit sisanya itu Le, sudah saya gunakan buat nalangi cicilan
Kerbau.
GENJIK : Wah, itu namanya sudah gawat, kang !
SAWI : Le, apa betul, pak Bupati itu segera mau rawuh
ke desa ini buat meresmikan dan merestui pak Lurah dan Semi untuk mengikuti
festival tingkat nasional itu ?
GENJIK : Lho, kamu itu bagaimana ta kang. Jadwalnya kan
sudah dikasih sama kita?
SAWI : Itu artinya, pak Lurah sedang sibuk-sibuknya.
Beliau pasti tidak sempat tanya soal SPJ, ya ta ?
GENJIK : Itu tidak baik kang. Kalau kang Sawi tidak
lapor. Saya lapor.
SAWI : Wah, jangan Le. Jangan.
GENJIK : Kalau tidak lapor itu kan namanya tidak
disiplin ta kang?
SAWI : Untuk kali ini saya mohon dispensasi dari kamu
Le, tapi besok tidak sudah, yakin ! Buat kali ini saja !
GENJIK : Wah ya tidak bisa. Itu masalah berat, kang!
Kamu sudah tidak bisa naik banding lagi.
SAWI : Terus. Terus saya mesti bagaimana?
GENJIK : Gampang, kang. Saya bisa menutup soal itu,
asal……….
SAWI : Asal apa Le, asal apa?
GENJIK : Asal kang Sawi bisa kasih saya berapa persen
untuk tutup mulut kalau nanti kang Sawi ada sisa anggaran.
SAWI : Anu, anu Le. Emh . . . . . lima persen saja,
bagaimana?
GENJIK : Itu pekerjaan sulit dan berat lho kang ! Ingat
!
SAWI : Sepuluh ?
GENJIK : Menurut pengalaman saya, mestinya itu dua
puluh persen.
SAWI : Tiga puluh persen, bagaimana ?
GENJIK : Empat puluh persen !
SAWI : Lima puluh !
GENJIK : Sudah enam puluh, belum termasuk beli odol,
sikat gigi, sabun cuci, sampo, . . .
SAWI : (Memotong) Terus bagian saya berapa
itu, njik ?!
SAWI : Milih ketahuan atau slamet ?
GENJIK : Wah, berat, njik !
GENJIK : Milih ketahuan atau slamet ?
~LIMA~
Tiba-tiba muncul
Narada dan Yamadipati, dari atas mereka memandang Genjik dan Sawi.
NARADA : Rupanya, kalau tidak keliru kita sudah sampai didesa Watugundul,
yayi Yamadipati. Orang angon bebek disana tadi bilang disini tempatnya. Lho!
Yayi, aku mendengar pembicaraan orang Marcapada, Yayi !
YAMADIPATI : Benar, Wa Narada.
NARADA : Mbok coba kamu liat disana itu, kelap-kelip
itu apa yayi ?
YAMADIPATI : Itu yang namanya makhluk marcapada, wa!
NARADA : Orang Marcapada ? Emh, coba aku sapanya
mereka itu !
GENJIK : (Kepada Sawi) Ana ambune, ning ora
ketok wujude!
NARADA : He ! Orang Marcapada !
GENJIK : (Mencari-cari) Nah, itu suaranya.
Tapi mana orangnya!
NARADA : He ! Orang Marcapada apa kamu tahu di mana rumahnya Lurah
Watugundul ?!
GENJIK : Na, itu dia! He ! makhluk E.T. ! kamu tanya
yang sopan. Turun !
NARADA : Wella dallah, Orang Marcapada itu tidak urus yayi ! Coba kamu
bereskan saja yayi Yamadipati!
YAMADIPATI
: Beres, wa!
(Mendekati
Genjik dan Sawi) He
! Orang Marcapada jelek ! Saya ini utusan dewa !
GENJIK : He ! makhluk E.T yang jelek! Saya ini utusan
pak Lurah !
YAMADIPATI : O….sudah gendheng kamu! Tak cabut nyawamu !
Yamadipati
pasang kuda-kuda hendak nyabut nyawa Sawi dan Genjik. Pak Lurah datang, heran
melihat Sawi dan Genjik meronta-ronta.
RL TANPASEMBADA : E…e…e… Njik, Sawi, kamu
ada pa ini ?!
GENJIK : Itu, itu makhluk E.T. itu E.T !
RL TANPASEMBADA : Hah ?! Sang hyang dewa ?!
he, njik ! itu dewa !ayo nyembah !
Bertiga mereka
nyembah Narada dan Yamadipati.
RL TANPASEMBADA : Ampun,
paduka, pembantu saya ini memang belum mengenal paduka. Dan, kedatangan paduka
ke Marcapada ini mengejutkan kami.
NARADA : Kedatangan kami ini memang mengemban titah sang Hyang Guru di
khayangan. Maka tepatlah kiranya, bila aku bisa langsung berhadapan dengan
Lurah desa Watugundul.
RL TANPASEMBADA : Syukur,
sang hyang dewa dapat mengunjungi kami dengan titah yang luar biasa ini.
Kalaulah saya boleh tahu, tugas apakah gerangan yang di bebankan sang hyang
dewa?
NARADA : Sang Hyang Guru di khayangan member tugas aku untuk menjumpai
Sinden Watugundul ini, yang kabarnya hendak mengikuti kejuaraan festifal
tingkat nasional.
RL TANPASEMBADA : Kebetulan,
kami sedang mempersiapkan tugas suci itu. Saya sangat berterima kasih bila
upaya kami ini mendapat perhatian besar para dewa di khayangan.
NARADA : Kalau begitu, bolehkan saya melihat sindenmu
itu?
RL TANPASEMBADA : Wi, panggil Semi kemari
Sawi memanggil
Sinden. Sinden keluar disertai dengan wartawan
RL TANPASEMBADA : Inilah
Sinden kami itu, sang Hyang dewa. Dan mas yang satu itu adalah seorang
wartawan.
NARADA : (Kaget) Wartawan?! Kemari Ki Lurah!
Wartawan siap memotret Narada dan
Yamadipati
NARADA : Usir keluar wartawan itu! Usir!
RL TANPASEMBADA : Wi! Njik! Tahu ta
tugasmu? Bawa keluar dulu mbak wartawan.
Sawi dan Genjik
menyeret wartawan keluar. Wartawan meronta, tapi orang itu tak peduli.
NARADA : Na,begitu. Aku paling anti kepada wartawan!
(Kepala
Semi) Kudengar
kamu ini sinden misuwur, kalau aku boleh tahu, siapa namamu?
SEMI : Semi, sinuhun. Saya menghaturkan selamat
datang kepada sang hyang dewa, mudah-mudahan salam saya ini diterima.
NARADA : Kuterima, kuterima suratmu yang dulu!
(Kepada
Lurah) Nah,
ki Lurah, aku kepingin mendengar alunan suara sindenmu ini!
RL TANPASEMBADA : Baiklah, sinuhun. Mi, itu
artinya kamu disuruh nyinden.
SEMI : Baiklah, Pak Lurah.
Semi mulai menyanyikan tembang à dilakukan
improvisasi dengan adanya dialog para dewa yang meminta sinden menembangkan
lagu yang berirama gembira, kemudian diikuti adegan komedi denga tingkah laku
pemain lainnya yang menari nakal. Ketika Semi selesai menyayi.
YAMADIPATI : Rontok rasanya hatiku demi mendengar alunan tembang sinden ini.
Wa…, sinden ini memang hebat, wa!
RL TANPASEMBADA : Demikianlah
yang bisa kami persembahkan kepada sinuhun. Kami rupanya ingin meminta restu
sinuhun agar sinden kami bisa menang di festival nanti.
NARADA : Kalau cuma restu, kuberi!. Tapi ada sesuatu yang lebih penting
lagi, ki Lurah. Sang Hyang Adi Guru di khayangan memberikan titah padaku dan
yayi Yamadipati ini untuk segera memboyong sindenmu, kubawa ke khayangan.
YAMADIPATI : Wa, apa tidak sebaiknya Semi ini tetap saja di Marcapada. Ia
orang Marcapada, hidup di Marcapada, tempatnya di Marcapada. Jangan dibawa ke
khayangan, wa.
NARADA : Hush! Jangan mlenca-mlence mulutmu, yayi. Ini bahaya! Baiklah, Ki
Lurah, ini sudah kubawa surat perintah dan surat keputusannya.
RL TANPASEMBADA : Tapi saya tidak mengerti.
Kenapa tiba-tiba seperti ini!
NARADA : Jangan ngomong panjang Lebar, terima saja
ini!
RL Tanpasembada
menerima SP dan SK itu.
RL TANPASEMBADA : Tapi mestinya kami harus
berembug dulu dengan Semi, sinuhun.
NARADA : Berembuglah sana. Berembug dan berembug itu kerja orang
marcapada. Sana berembug sana!
RL TANPASEMBADA : Bagaimana
Mi? Ini sudah tidak bisa ditawar lagi, kamu harus ke khayangan. Artinya aku
harus kehilangan kamu. Baiklah, terima saja ini Semi. Dan, hati-hati saja Mi.
Semi menerima SK
dan SP. Lurah pergi. Narada mendekati Semi
NARADA : Kami dewa-dewa di khayangan tahu apa yang harus dilakukan untukmu
Semi. Khayangan akan menjadi tempatmu yang baru. Ingatlah, kehormatan orang
Marcapada bisa diboyong ke khayangan.
SEMI : Saya takut sinuhun.
NARADA : Kenapa takut? Di khayangan kamu bisa mengembangkan kemampuanku
yang hebat itu. Bagaimana Semi?
SEMI : Saya bisa memutuskan, asal saya mesti
berembug dulu dengan suamiku, sinuhun.
NARADA : Berembug lagi? Baiklah, kamu boleh berembug dengan suamimu, tapi
ingat, titah itu sudah keputusan dan tidak perlu kamu berjalan jauh ke rumah,
kusebda kamu bisa langsung sampai di rumah! Alakazam!
Semi tiba-tiba
sudah hadir di rumahnya. Panjang heran.
PANJANG : Lho Semi, kenapa kamu sudah di rumah lagi ? Kamu urung menyanyi
bersama pak Lurah ?
SEMI : Tidak kang. Aku pulang memang membawa kabar
penting!
PANJANG : Apa lagi?
SEMI : Ini kang, tadi ada utusan dari khayangan,
bermaksud memboyong saya ke khayangan. Ini kang surat perintah dan
keputusannya.
Panjang membaca.
Setelah selesai, ia marah
PANJANG : Tidak! Jangan Semi! Tempatmu bukan di khayangan! Tempatmu di
sini! Di khayangan banyak wereng, banyak rayap. Kamu bakal digerogoti, jiwamu
rusak. Kamu cuma bakal dipakai jadi kalangenan. Tidak Semi!
SEMI : Tapi di khayangan, aku bakal bisa berkembang
lebih baik. Dewa-dewa bakal menggodogku, kang!
PANJANG : Tidak! Kemampuanmu itu justru bakal sirna, oleh penyakit
kesombongan khayangan! Tidak Semi!
SEMI : Aku mesti berangkat, ini sudah keharusan,
kang!
PANJANG : Kamu mulai pertengkaran lagi? Edan!
Panjang masuk.
Keluar membawa gelas berisi racun dan clurit
PANJANG : Sekarang kalau kamu ndak nggugu suamimu, ini, ini, obat nyamuk di
tangan kananku atau clurit di tangan kiriku.
SEMI : Aduh, kang! Jangan kang! Aku mohon jangan!
PANJANG : Obat nyamuk atau clurit?
SEMI : Jangan! Jangan kang!
Narada dan
Yamadipati tiba-tiba masuk.
NARADA : E… e… e… nanti dulu kisanak, jangan keburu nafsu! Dipikir dulu
tindakan tololmu itu!
PANJANG : Ash… pokoknya racun di tangan kananku clurit
di tangan kiriku!
NARADA : E… nekad kamu ya? Kusebda clurit dan obat
nyamuk jatuh! Alakazam!
Racun dan clurit
yang dibawa Panjang jatuh.
PANJANG : Lho kok jatuh? Ambil lagi!
NARADA : Edan, nantang kamu ya?
PANJANG : Kamu siapa? Berani-beraninya ikut campur
urusanku?
NARADA : Saya ini dewa, utusan sang Hyang Guru di
khayangan!
PANJANG : Dewa kok tidak tahu aturan, tidak tahu sopan santun. Masuk desa
tanpa permisi, masuk rumah tanpa kula nuwun!
NARADA : Saya diutus oleh sang hyang adi guru untuk menjemput sindenmu
ini!
PANJANG : Tidak bisa! Sinden ini isteriku, aku sendiri yang ngurus bukan
cuma untuk dewa-dewa macam kamu! Kelancanganmu ini sudah melanggar tatanan
desa! Aku harus laporkan ini pada pak Lurah!
NARADA : E…, nanti dulu kisanak, nanti dulu!
PANJANG : Tidak bisa! Aku harus lapor pak Lurah! Ayo
Semi, ikut aku!
SEMI : Nanti dulu, kang, nanti dulu!
PANJANG : (Menyeret istrinya) Assh… pokoknya
ikut! Ayoh!
NARADA : Kisanak, jangan gegabah, nanti dulu!
(Mengejar Semi dan suaminya).
YAMADIPATI : (Menahan Narada)
Jangan Wa. Biarkan mereka pergi! Itu adalah hak dan kewajiban mereka.
Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita kepada orang Marcapada, mereka bukan
dewa seperti kita, Wa. Pulang saja Wa, pulang saja!
NARADA : Angger Yamadipati, engkau seorang dewa yang menjadi kiblat orang
Marcapada, tidak selayaknya itu diucapakan, sebab kiblat itu bukan sekedar
harapan.
YAMADIPATI : Aduh Uwa Narada, kiblat itu sekarang telah
menggelisahkan kita, Uwa tahu, kenapa kita diutus ke Marcapada bila memang
khayangan sendiri hendak mencari kebijakan baru, dari Marcapada ini.
NARADA : Angger Yamadipati, hendaklah kamu sabar, kamu ini hanya melihat satu
sisi saja, nilai-nilai luhur kebijakan hidup tak hanya diperoleh dengan sekali
melihat kenyataan, kamu butuh waktu untuk bisa mengerti!
YAMADIPATI : Duh, uwa Narada, bagi saya tidak keliru untuk menemukan kebijakan
sendiri untuk mendapat makna hidupku. Saya bukan mesin, diriku sendirilah yang
menentukan kebijakan yang ada dalam sanubariku.
NARADA : Sudah jadi hukum di khayangan, bahwa seorang dewa harus
merencanakan keluhurannya. Dia adalah suri tauladan. Puncak harapan orang
Marcapada.
YAMADIPATI : Suri tauladan, tidak hanya keluar dari kedudukan yang tinggi.
Suri tauladan keluar dari keluhuran hidup setiap orang. Ia tidak ditentukan,
tapi keluar sendiri dari perilaku dan kebesaran jiwa. Marcapada ini lebih ragam
untuk mencari kabijakan hidup dan mendewasakan diri. Sudah Wa, aku tdiak ingin kembali ke
khayangan, tidak, aku tidak akan kembali ke khayangan. Sudah Wa, sudah wa!
Sudah wa!.
Yamadipati
pergi.
NARADA : Tunggu, angger Yamadipati! Edan tenan! Baiklah, akan kuadukan
kamu kepada sang hyang adi guru di khayangan.
(Terbang ke khayangan) Sang Hyang Adi
Guru….!
SELESAI
Di
tulis ulang oleh Teater Dhingklik untuk kebutuhan arsip Naskah Teater Dhingklik,
Mahasiswa
FBS UNY Mata Kuliah Drama Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar