Social Icons

Naskah Sinden











NASKAH
SINDHEN
Ditulis oleh : Heru Kesawa Murti

Penokohan:
Semi                            : Sinden yang mempesona.                             
Panjang                       : Suami Semi yang sensitive.                                      
Guru                            : Pimpinan para dewa di khayangan.
Narada                        : Dewa khayangan, wakil Guru.
Yamadipati                 : Dewa khayangan pencabut nyawa
RL Tanpasembada      : Kepala desa Watugundul
Isteri Lurah                 : Isteri yang suka cemburu.
Genjik                         : Carik, wakil kepala desa.
Sawi                            : Staf kepala desa yang agak bodoh.
Wartawan                    : Pemburu berita yang suka disuap     (perempuan)               
Orang gila                   : Warga desa yang terganggu jiwanya
Warga I                                    : Perempuan
Warga II                       : Perempuan
Anak – anak :              : Nikita
                                    : Zaskia
                                    : Melinda         tentatif, menyesuaikan isu aktual
                                    : Cantik
                                    : Mulan
Abdi khayangan          : Dapat diperankan oleh laki – laki atau digantikan oleh perempuan





































(Opening)

Lampu redup, terdengar alunan lembut gamelan, sorot lampu hanya terfokus pada siluet tubuh Semi yang sedang berdandan dan siap – siap berangkat nyinden. Semi melantunkan tembang, berpakaian dan menggelung rambut. Kemudian, Semi keluar dari balik layar menuju ke tengah panggung pertunjukan, mengadakan interaksi seolah – olah ia akan mulai nyinden. Tiba – tiba, muncul dari sisi panggung lainnya gerombolan warga – warga yang ingin menyaksikan penampilan Semi malam itu. Kecantikan dan pesona alami Semi yang tak terkalahkan, menjadikan warga desa Watugundul memuja dan menunggu penampilan sinden itu, hingga akhirnya suasana menjadi kacau dan tak terkendali. Kerumunan mulai berkurang, di tengah panggung hanya ada Semi dan Warga Desa I yang tergila – gila pada Semi. Warga Desa I  linglung berhadapan dengan Semi yang cantik, hingga akhirnya Semi meninggalkan Warga Desa I itu sendirian di tengah panggung. Warga Desa I merasa kasihnya tak sampai, dan ia menjadi gila.


~SATU~

( Khayangan pada suatu hari )
Syahdan sang Dewa Guru tengah gelisah, perasaannya tak seperti biasa. Ada sesuatu yang sedang bergejolak di dalam hatinya, yang kini lebih menyerupai gerak jarum yang lamban. Dia tak bersantap beberapa hari ini. Seperti hendak kedatangan suatu petaka, wajahnya cemberut dan berulang kali berjalan mondar-mandir mengelilingi ruangan paseban. Tak lama, tapi kemudian rasanya seperti mendapatkan sesuatu yang melegakan, dia duduk di singgasana dan menyuruh seorang abdi untuk memanggil Paman Narada menghadap.
Paman Narada datang tergopoh-gopoh.


NARADA            :  (Terbata bata) Sembah di hadapan Adhi Guru, saya Pamanda Narada datang menghadap. Titah apa yang hendak Adhi Guru berikan kepada saya ?

GURU                   :  (berwibawa) Duduklah yang enak Paman Narada. Saya ingin berbincang-bincang kepadamu.

NARADA             :  Ho, ho, ho. Ampun junjungan para dewa di khayangan, apakah Adhi Guru selalu melihat saya selalu mengecewakan paduka ?

GURU                   :  (Tertawa kecil) Saya tak pernah melihat Paman Narada tidak menepati janji. Tapi paman, memang ada sesuatu hal yang ingin sekali hendak saya bicarakan kepada paman.

  NARADA             :  (Menyembah) Dengan senang hati, Adhi Guru.

  GURU                   :  (Berdiri memandang keluar) Paman……

  NARADA             :  Saya, Adhi Guru.

GURU                   :  Apakah paman tidak melihat bahwa khayangan ini sudah mulai lagi tak bisa memberikan sesuatu yang berarti. Para dewa penghuni khayangan sudah kembali lagi seperti mesin, mereka hanya bisa bekerja bila ada proyek. Dilain pihak, justru di khayangan inilah terletak tanggung jawab untuk memberikan suri tauladan dalam melakukan sesuatu yang berarti bagi kehidupan masyarakat di Marcapada. Dan itu bukan sekedar menunggu proyek, paman. Bukan pula sebuah program atau surat perintah kerja.

NARADA             :  Aduh, Adhi Guru alangkah tak berartinya saya bila Adhi Guru merasa gelisah melihat tanda-tanda itu.

GURU                   :  (Duduk kembali) Paman, aku takut mereka justru akan berubah menjadi stereotip dan mekanis. Paman lihat sendiri, mereka sudah mulai mandul, tidak memiliki kreativitas kerja yang prima. Yang mereka kerjakan cuma meminta tanda tangan saya, update acara khayangan di twitter, menumpuk tugas – tugas stilistika di meja mereka, main-main gadget, sibuk BBMan, dan bahkan ada yang berlomba-lomba membuka pintu mobil saya setiap saya akan pulang. Kadang-kadang ada yang cuma main catur, upload foto di instagram, biar tak ada kesan menganggur sebelum jam kantor habis. Paman, itu sudah mengkhawatirkan.

  NARADA             :  (Mengangguk angguk)  Saya mengerti, Adhi Guru.

GURU                   :  Saya sampai dibuatnya heran, paman. Mereka ternyata terlalu manja dengan kedudukannya. Menganggap bahwa khayangan selalu menentukan, selalu memutuskan tanpa memberikan penghargaan sama sekali pada prestasi orang-orang Marcapada. Saya berpendapat itu tak ubahnya seperti bebek-bebek yang congkak.

  NARADA             :  Saya mengerti, Adhi Guru.

GURU                   :  Mental mereka mesthi dirubah paman, sebelum khayangan sendiri ambruk karena sudah tak sanggup lagi menahan beban para dewa yang korupsi, memanipulasi ide, sombong kedudukan, lahap pada proyek, program, yesmen.

  NARADA             :  Saya mengerti Adhi Guru.

GURU                   :  Saya justru merasa bodoh oleh orang-orang Marcapada yang kaya akan kreativitas, kaya potensi dan memiliki prestasi besar sekalipun mereka tak selalu memperoleh fasilitas yang baik untuk mengembangkan itu seperti yang di peroleh para dewa-dewa di khayangan.

  NARADA             :  Saya mengerti Adhi Guru.

GURU                   :  Dan kita memang harus mengangkat mereka untuk memberikan dan menyumbangkan kemampuan mereka sebagai cermin buat para dewa.

  NARADA             :  Saya mengerti Adhi Guru.

  GURU                   :  (Heran dan kaget) Lho ! kalau demikian paman-pun juga bebek ?!

NARADA             :  (Tergagap-gagap) E..e..e..e, maksud saya, saya amat setuju dengan apa yang dipikirkan Adhi Guru.

GURU                   :  Na, itulah yang namanya klise !. jawabannya seperti di cetak dan diulang-ulang. Dan bebekpun seperti itu.

NARADA             :  Mohon ampun Adhi Guru. Tapi kalau Paman Narada ini boleh tahu, rencana apa yang hendak Adhi Guru bicarakan ?

GURU                   :  (Memandang Narada dengan berwibawa) Apakah paman pernah mendengar seorang sinden bernama nyonya Semi dari Marcapada ?

NARADA             :  (Menyembah) O, paduka junjungan para dewa di khayangan, Paman Narada baru menduga-duga, mungkin itu yang hendak dibicarakan Adhi Guru.

GURU                   :  (Datar) Suaranya ampuh, paman. Hingga bergetar rasanya khayangan mendengarnya. Dia contoh orang yang punya prestasi besar, mencintai pekerjaannya. Yang jelas, saya tahu apa yang hendak kita lakukan dengan prestasinya yang besar itu.

  NARADA             :  (Menyembah) Maksud Adhi Guru ?

  GURU                   :  Boyong Sindhen itu ke khayangan.

  NARADA             :  Tetapi menurut hemat kami, rencana Adhi Guru itu…

GURU                   :  (Memotong) Segera akan saya buatkan surat keputusan dan sekaligus surat perintahnya. Sinden itu memang layak untuk bisa berkembang, tidak hanya untuk Marcapada dan khayangan, tetapi juga untuk seluruh semesta yang terbatas ini. Biar khayangan yang akan menggodog lebih matang lagi, Paman Narada.

NARADA             :  Ho, ho, ho, itu memang sebuah prospek yang bagus, Adhi Guru. Sekaligus bisa mengembangkan lagi nama khayangan.

GURU                   :  Dalam pikiran saya, bukan hanya nama semata-mata, Paman Narada. Tetapi juga sebuah tanggung jawab dan suri tauladan.

  NARADA             :  Tetapi khayangan kiblat Marcapada, paduka Adhi Guru.

GURU                   :  Paman, tapi saya tak ingin ada kesulitan. Saya tak ingin melihat Paman Narada pulang dengan tangan hampa.

  NARADA             :  Benar, Adhi Guru. Itulah yang ingin saya sampaikan kehadapan paduka.    
                                    Orang-orang Marcapada tentu tak akan begitu saja membiarkan Sindhen itu di bawa. Saya sudah melihat kesulitan-kesulitannya.

GURU                   :  (Kepada Narada) Paman, Panggil Yayi Yamadipati kemari. Bilang kepadanya ini perintah !


Narada masuk disertai Yamadipati.


  YAMADIPATI     :  (Menyembah) Sembah sujud hamba haturkan kehadapan paduka Guru.

GURU                   :  Engkau tentu tahu kenapa kupanggil kemari. Ini ada hubungannya dengan bidang profesi pekerjaanmu. Yayi Yamadipati, maaf, ini mengganggu kesibukanmu membaca Koran.

YAMADIPATI     :  Titah paduka Guru diatas segala-galanya. Hamba segera akan menjalankan apa yang hendak paduka berikan tugas kepada hamba.

GURU                   :  Kau menyertai Paman Narada turun Marcapada menjemput seorang Sindhen dan membawanya kemari. Yayi Yamadipati tentu tahu apa yang harus yayi kerjakan.

  NARADA             :  Yayi, kudengar kau baru saja mencabut nyawa seseorang.

YAMADIPATI     :  Baru kemarin, kanda Narada. Seorang Marcapada yang hendak mengintip orang mandi. (Narada dan Yamadipati membahas orang mandi tersebut)

GURU                   :  Sudah – sudah! Sekarang, Paman Narada dan Yayi Yamadipati segeralah berangkat ke Marcapada. Surat keputusan dan surat perintahnya segera bisa paman ambil di ruang sekretaris jendral khayangan. (sambil mengeluarkan gadget) Saya segera mention dia. Berangkatlah paman.


Narada dan Yamadipati segera meninggalkan ruang paseban diikuti dengan wajah puas Guru.





~DUA~

( Desa Watugundul )
Pada suatu hari yang tenang. Panjang seharian tak berhenti mengawasi kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Mereka nakal-nakal semua. Yang sulung baru berumur 6 tahun, tapi Panjang tampaknya tak punya pikiran bahwa anak itu harus segera di sekolahkan di kecamatan. Empat orang anaknya yang lain, hampir seluruhnya berselang satu tahun. Yang bungsu baru saja bisa merangkakitulah sebabnya Panjang nyaris sepanjang hari tak istirahat. Maka ketika dia mendapatkan ada sebuah kesempatan untuk mengambil napas, dia segera menggunakan peluang itu buat mengaso sepuas-puasnya. Panjang kelihatan cemberut, murung, dan simpang siur.


PANJANG            :  (Keluar-duduk mengipas kipas tubuhnya yang gerah) selagi masih ada kesempatan seperti ini, sebaiknya memang harus dipergunakan baik-baik.
Text Box: Improvisasi  pemain             (Baru saja dia duduk, tiba-tiba anaknya yang sulung meronta-ronta, sepertinya anak itu jatuh ketimpa sesuatu, kemudian (berdiri lagi-marah-melihat kedalam) Aduh ! kamu itu bagaimana ta Nikita ! kamu itu kan sudah kubilang jangan main-main di tumpukan ember. Anak sialan ! sana, pergi dari situ. Sudah besar tidak ngrumangsani. Ayo, jangan disitu !
Baru saja mau duduk kembali, seorang anak yang lain jatuh dan menangis sambil berteriak-teriak.
                        (Berdiri lagi-marah) Apa lagi ini !
(Memandang kedalam rumah) Gusti Allah, Zaskia !, Zaskia !, apa kamu itu tidak mau peduli sama bapakmu, he. Kan sudah kubilang, jangan main-main di kandang ayam. Ayo, sana. Mandi !
(Duduk lagi) Yang satu ketimpa ember, yang satu lagi dilalap kandang ayam. Anak… anak, dasar memang susah di urus.
                        (Belum lagi selesai, anaknya yang lain terdengar berlari-lari sambil berteriak                      -teriak takut dikejar seekor anjing. Berdiri lagi melihat keluar)
Ya ampun… Melinda. Kamu memang tidak kapok juga, main-main anjing. Jangan lari, ayo berhenti ! jongkok !, jongkok ! Nah begitu.


Terdengar  anjing itu sudah tidak menyalak lagi, mungkin sudah lari. Tapi Melinda sudah keburu takut dia nangis mencari emaknya.


SEMI                     :  (Dari dalam) Apa ini ? emak ! emak ! ayo pergi dari sini ! aku sedang repot !. Sana. Anak itu masih tetap menangis. Sana ! aduh !, dimana gincunya tadi ? pakne gincunya tadi kamu taruh mana?. Lho, ini lipenstiknya malah kamu injek-injek. O…. sialan kamu setan cilik !

Dipukulnya anak itu. Melinda meronta-ronta lagi sambil lari terbirit-birit. Semi keluar tergopoh-gopoh.

SEMI                     :  (Keluar dari dalam rumah) Tuh, lihat anak-anakmu sekarang sudah hampir seperti Genjik semua !

  PANJANG            :  Wah ! kamu itu mbok ya ngomongnya jangan seperti itu. Kasar ! tidak pantes !

SEMI                     :  Tidak pantes ! tidak pantes ! memangnya kamu sendiri kalau ngomong apa juga pantes ? itu, macam begitu itu jadinya anak-anakmu, itu hasil didikanmu !

  PANJANG            :  Ya Allah !.... kok malah tiba-tiba aku yang kamu marahi ?

  SEMI                     :  Soalnya kamu tidak becus ngurus anak !

  PANJANG            :  (sabar) Perkara mengurus anak, itukan juga tugas kita, tugasku dan tugasmu.

SEMI                     :  Jagad Dewa Bathara… nyuwun sabar. Kamu itu memang keterlaluan Pakne ! kamu bisanya cuma enak-enak bikin anak, melek merem rasanya sudah marem. Tapi kamu ndak pernah merasakan sakitnya aku melahirkan mereka. Sekarang, baru begitu saja sudah sambat !

  PANJANG            :  Aku itu tidak sambat.

SEMI                     :  Nyatanya, coba lihat, baru saja ditangisi sama anak-anakmu macam begitu saja sudah gembeng, apa itu namanya tidak sambat. Laki-laki macam apa itu !

PANJANG            :  (Berdiri) Mbokne, kalau mau ngomong itu mbok ya jangan kebablasen. Itu namanya tidak urus.

SEMI                     :  (Jengkel) Mana yang lebih tidak urus, kamu yang seneng bikin anak, atau tidak becus ngurus. Atau aku yang sudah susah-susah cari duit untuk makanmu sama anak-anak, lalu kamu mencoba menyalahkan aku. Mana, mana yang tidak urus ? ayo mana ?

  PANJANG            :  Kamu memang tidak salah.

  SEMI                     :  Lha, gene kamu malah tahu.

  PANJANG            :  Tapi kita kan bisa bicara baik-baik, tidak asal terus nyantlap.

SEMI                     :  Eh, pak. Sejak dulu aku selalu ngomong baik-baik sama kamu. Kamu jangan ngilang-ngilangke. Apa kamu tidak ingat, kwajiban mengurus anak itu tidak hanya perempuan saja, laki-laki macam kamupun mestinya harus bisa ngurus anak. Tidak hanya laki-laki thok yang bias cari duit. Kalau sekarang kamu menyalahkan aku soal anak-anak, apa itu namanya bener? Tidak gampang perempuan itu melahirkan. Sekarang, kalau aku sekarang aku kamu bebani anak-anak, kamu itu maunya apa, he?

PANJANG            :  Iya, tapi kalau kamu tidak ikut memperhatikan anak-anak, terus mau bagaimana? Aku tiodak melarang kamu nyindhen. Tapi mbpok ya eling, ada masanya untuk memperhatikan keluarga. Silahkan seminggu kamu tidak pulang. Tapi apa kamu sesekali tidak punya kesadaran buat dekat dengan anak-anak?

SEMI                     :  (Berang) E....... jadi kamu anggap sepele, kamu anggap hina, kamu anggap saru ya aku nyindhen itu?

  PANJANG            :  (Sabar) O, tidak. Sama sekali tidak ! apa aku pernah bilang begitu?

            (ada adegan eat bulaga yang dilakukan oleh anak – anak Semi ketika mendengar perkelahian suami istri itu. Semi marah. à improvisasi pemain)

SEMI                     :  Buktinya, ngomongmu seperti itu, berarti kamu sudah kepingin bilang bahwa aku tidak boleh nyindhen ya ta?
(Tertawa sinis) O.... tidak bisa, tidak bisa pakne. Aku tidak goblok untuk kamu rayu supaya aku ngeloni terus anak-anakmu itu. Kuno! Kolot !

  PANJANG            :  Lho, tidak. Maksudku....

SEMI                     :  (Memotong) Jaman sekarang itu sudah tidak musimnya lagi perempuan mlungker terus di rumah. Apa..! perempuan itu bukan pitik babon ! bukan cuma disuruh tinggal terus di dapur! Bukan babu! Ingat, ingat! Jangan kelewatan bodohmu itu !

  PANJANG            :  (Marah) Mbokne, kamu bikin aku jadi marah !

  SEMI                     :  (Menantang) Disangkanya apa aku tidak marah?!

  PANJANG            :  Setan ! mentang-mentang kamu ya ?!

  SEMI                     :  Kalau tidak mentang-mentang sampean mesthi sudah semangkean!

PANJANG            :  Nah, nah, jadi begitu itu perolehannya kamu jadi nyindhen, dicukongi pak Lurah, terkenal kemana-mana. Sekarang kamu ngenyek sama orang yang pernah mendorong kamu jadi seperti itu. Apa kamu tidak eling, bahwa dulu kamu gembeng, merengek-rengek minta dikawini?

SEMI                     :  Soal sindhen itu urusanku, soal pak Lurah itu bukan urusanmu. Aku sudah terlalu repot untuk mengurusi soal gembeng, dan pikiranmu yang selalu cengeng itu.


Tiba-tiba terdengar lagi suara grombyangan.


  SEMI                     :  Sudah, kamu urus saja itu. Aku mau pergi!

  PANJANG            :  Kamu mau kemana. Kamu belum bikin bubur untuk si Tembong.

SEMI                     :  (Berkemas-kemas mau pergi) Apa kamu tidak bisa bikin sendiri? Laki-laki macam apa kamu itu?
                        (Ribut sendiri) Mana tadi tasku, tas N President. Pakne tasku.

  PANJANG            :  (Beranjak) Tas yang mana?

  SEMI                     :  Tas yang berisi make up, tolol!


Panjang masuk mengambil tas. Semi sibuk berdandan. Panjang masuk sambil membawa tas.


  SEMI                     :  Taruh sini!

  PANJANG            :  Kalau menaruh tas itu mbok ya hati-hati.

  SEMI                     :  (Beranjak, tapi lupa sesuatu) Aduh, sandalku. Pakne sandal jepitku!

Panjang masuk mengambil sandal jepit istrinya. Dan keluarga lagi menyodorkan sandal itu dengan wajah bersungut-sungut.


  SEMI                     :  (Geram) Taruh bawah!

Sesudah mengenakan sandal jepit langsung nyonya Semi beranjak keluar dengan muka sebal. Panjang duduk menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia merasa heran dengan perkembangan istrinya yang dianggapnya sudah kelewat batas itu.


PANJANG            :  (Setengah klenger) Aduh, nyuwun sabar Pangeran.... Mudah-mudahan sakit ayanku tidak kumat. Tidak kusangka kalau Semi sekarang jadinya seperti itu. Hh..... kuwalat aku.
(Kepada penonton) Saudara-saudaraku, dulu saya memang ngeyel dengan almarhumah Simbok dan mendiang Bapak saya, kenapa saya mesti mengawini Semi. Nah, seperti inilah wujud kutukannya. Perlahan-lahan tapi pasti. Memang bukan dunia perempuan yang salah, bukan pula Semi yang jadinya seperti itu. Yang salah adalah saya karena melanggar pesan almarhum orang tua saya.

Nikita tiba-tiba masuk tergopoh-gopoh. Panjang terhenyak kaget.


  NIKITA                 :  (Terengah-engah) Cilaka Pak. Cilaka Pak. Aduh, itu….. si, si Melinda, anu.....

  PANJANG            :  (Cemas) Si Melinda bagaimana?

  NIKITA                 :  Anu, Melinda itu...

  PANJANG            :  Mbok ya yang jelas kalau ngomong.

  NIKITA                 :  Melinda kecemplung kakus, Pak.

  PANJANG            :  Apa?!


Langsung Panjang lari masuk terburu-buru diikuti Nikita.


  PANJANG            :  Tobat, tobat. Yang satu selesai, yang satu nyusul. Edan semua!










~TIGA~

Ruang depan rumah pak Lurah Watugundul.
Raden Lurah Tanpasembada. Bu Lurah duduk dengan gelisah, wajahnya menyiratkan rasa sebal yang amat sangat. Dia tengah mendongkol, berang dan marah yang selama ini disimpannya namun tak pernah ada waktu buat di keluarkan. Hari ini dia sudah tak tahan lagi, seluruh isi dadanya terasa tak mampu lagi di tekan sabar, dia sepertinya hendak meledak. Tapi Bu Lurah masih bisa mengendalikan diri.

Pak Lurah keluar dari dalam. Heran memandang istrinya. Apa yang dilihatnya itu memang membuat tak mengerti, kenapa sekonyong-konyong isterinya bersikap seperti itu.


RL TANPASEMBADA       :  Aku bingung melihatmu akhir-akhir ini, bune. Kalau kamu memang sudah tidak betah di rumah ini, mestinya kamu bisa ngomong.

  BU LURAH                          :  Memang, dasarnya aku kepingin ngomong.

  RL TANPASEMBADA        :  O, silahkan.

  BU LURAH                          :  Rumah ini sudah edan.

  RL TANPASEMBADA        :  Jadi itu yang hendak kamu omongkan?

  BU LURAH                          :  Banyak. Tidak cuma itu.

  RL TANPASEMBADA        :  Apa kepingin kamu rahasiakan lagi?

  BU LURAH                          :  Tidak. Aku sudah tidak tahan.

  RL TANPASEMBADA        :  Boleh, kamu memang boleh tidak tahan.

  BU LURAH                          :  Sebaiknya kita memang tidak serumah lagi.

  RL TANPASEMBADA        :  O, itu. Jadi?

  BU LURAH                          :  Pak, kamu berat mana. Sindhen itu atau isterimu dan anak-anakmu?

  RL TANPASEMBADA        :  (Tertawa) Jadi itu yang bikin kamu bingung?

  BU LURAH                          :  Kamu bilang apa?

  RL TANPASEMBADA        :  Itu perkara mudah, tidak perlu pusing-pusing.

BU LURAH                          :  Kamu bilang mudah, kalau orang-orang desa ini mulai banyak ngrasani kamu gara-gara Sinden itu.

  RL TANPASEMBADA        :  Orang yang nganggur memang suka ngrasani, itu biasa.

BU LURAH                          :  Kalau sekarang mereka  mulai tidak terima karena suami-suami mereka gendeng, menjual pohon kelapa, menjual perhiasan isterinya, melalaikan kehidupan mereka hanya karena tergila-gila sama Sinden-mu itu, apa itu cuma perkara biasa?. Lalu bagaimana dengan Simin yang menyia-nyiakan bininya itu, bagaimana dengan Thukul yang sampai hendak menceraikan isterinya, bagaimana dengan Muji yang sekarang miring?. Apa itu cuma perkara biasa?

  RL TANPASEMBADA        :  Lho, itu kan salah mereka sendiri.

  BU LURAH                          :  Tapi kamu Lurah. Kamu yang memelihara Sinden itu.

  RL TANPASEMBADA        :  Itu hakku. Urusanku.

BU LURAH                          :  Urusanmu, hakkmu, memang. Sampai-sampai kamu jual tanah Rejo, kamu jual kebun Bu Arjo, kamu bujuk mereka supaya mau di jualkan olehmu, lalu duitnya cuma kamu bagi separoh lantas kemana yang lainnya, kalau tidak kamu pergunakan untuk memanjakan Sindenmu itu.

  RL TANPASEMBADA        :  Soal tanah mereka itu, bukan urusanmu.

BU LURAH                          :  Ya, bener. Betul. Kamu bener Pak. Dan kamu memang bener kalau duit hasil penjualan tanah kamu pergunakan untuk memanjakan Sindenmu. Duit dari mana buat beli gamelan itu, duit dari mana buat beli seperangkat halo-halo itu? Dari mana?

RL TANPASEMBADA       :  Itu urusan lelaki, urusan perempuan di dapur, di ranjang, bukan gamelan, bukan halo-halo.

BU LURAH                          :  Sampai-sampai kupingmu buntet sama suara-suara orang desa, ya apa tidak?

RL TANPASEMBADA       :  Bune, Sinden itu lahir di desa ini, dia milik desa Watugundul ini. Apa kamu tidak sadar bila dia sudah merupakan kuwajiban kita buat menghidupkan, menjaga dan memelihara. Dia milik desa ini satu-satunya.

BU LURAH                          :  (Sinis-tertawa) Hingga kamu lupa sama anak isterimu ya kan? Ubyang-ubyung kesana-kemari sampai kamu tidak ingat rumah, tidak ingat sama orang-orang desa. Tidak ingat bahwa kamu itu Lurah. Kalau aku sudah merasa malu.

  RL TANPASEMBADA        :  Ya, malu-lah. Kalau itu maumu.

BU LURAH                          :  Iya, memang aku malu. Disangkanya apa aku terus pasrah begitu saja. O, tidak. Tidak!

  RL TANPASEMBADA        :  Itu memang bagus.

  BU LURAH                          :  Sekarang, aku ulangi lagi. Sinden itu atau isteri dan anak-anakmu.

  RL TANPASEMBADA        :  Aku bukan bocah ingusan !

  BU LURAH                          :  Baik, kalau kamu memang bukan bocah, aku minta cerai!

  RL TANPASEMBADA        :  (Berdiri-congkak) E........... jadi itu ya kamu punya uneg-uneg?

  BU LURAH                          :  Memang, dan itu sudah kurancang.

RL TANPASEMBADA       :  Aku memang juga sudah tahu. Apa kamu kira aku tidak sanggup buat mbayar tuntutanmu? Jangan dikira ya?

  BU LURAH                          :  (Sinis) Aku tidak minta kamu bisa bayar tuntutanku.

RL TANPASEMBADA       :  Lantas apa yang kamu maui? Kamu kepingin rumah ini?. Bawa. Kepingin perhiasan yang di almari itu?. Bawa. Apa lagi?

BU LURAH                          :  O....kamu pikir aku gampangan? Memang buntet utekmu, Pak!. Kamu tidak ngerti, aku punya kemampuan untuk membeberkan kebusukanmu itu sama Pak Camat, kamu pikir apa aku tidak bisa mengadu sama Pak Bupati, he? Aku bisa bayar wartawan biar kebrengsekanmu itu di tulis di koran! Jelas ?!

RL TANPASEMBADA       :  (Tertawa terbahak-bahak)Kamu nglantur, Bune. Sudah, kalau kamu mau nuntut, nuntut saja di pengadilan, tidak di koran, tidak perlu sama Pak Bupati segala macam.
                                                    (Tertawa lagi) Lucu, kamu nglucu, bune.

  BU LURAH                          :  (Berang) Gusti Allah! Kamu anggap enteng ya?

RL TANPASEMBADA       :  Lha gimana tidak mau nganggap enteng, lha wong ngomongmu saja seperti orang ngelindur kok.

BU LURAH                          :  (Marah) Kamu kepingin bukti pak? Baik, saya pikir sayapun berani. Tunggu saja !

  RL TANPASEMBADA        :  Bune, kalau perlu malah sekaligus ke Pak Gubernur.
                                                    (Tertawa) Atau numpang sebentar lewat radio.
                                                    (Tertawa lagi)

BU LURAH                          :  E, e allah ! jadi kamu nantang rupanya. Baik, nanti kalau orang-orang desa ini ramai-ramai nuntut kamu, jangan keder. Kalau nanti terjadi sesuatu dengan sindenmu, jangan mengkerut nyalimu!

  RL TANPASEMBADA        :  Wo.... ngancam.

  BU LURAH                          :  Tunggu saja, Pakne. Lihat nanti!


Bu Lurah beranjak masuk. Dari luar datang Genjik (carik desa), Sawi (salah seorang pamong desa) masuk mengiringi seorang wartawan yang hendak bertemu Pak Lurah.


  RL TANPASEMBADA        :  Kamu mau kemana sekarang ?

  BU LURAH                          :  Terserah aku!


Bu Lurah menghilang, masuk kedalam. Genjik maju.


  GENJIK                                 :  Kulanuwun, pak Lurah.

  RL TANPASEMBADA        :  (Kaget) Lho, kamu.
                                         (Kepada yang lain)E...sini, sini. Masuk.

  GENJIK                                 :  Kami membawa tamu, pak Lurah. Mbak wartawan.

Sawi dan sang wartawan duduk.

RL TANPASEMBADA       :  Waaahh, rupanya saya kedatangan tamu istimewa ini. Wartawan dari mana, nak?

SANG WARTAWAN          :  Dari ibukota, saya ditugaskan dari mingguan TEMPE untuk sedikit mendapatkan sesuatu dari pak Lirah tentang Sinden yang membikin geger itu, pak.

RL TANPASEMBADA       :  Kalau begitu, saudari ini datang pada alamat yang tepat. Saya yang berkompeten soal Sinden itu.
                                                     (tertawa puas)
             Dia itu memang hebat kok, nak! Sudah sepantasnya bila harus dimuat khusus di majalah bonafid saudari itu. Kalau perlu, di muat untuk satu terbitan istimewa, semua isinya sinden. Begitu ta nak?

SANG WARTAWAN          :  (Mengeluarkan barang-barang keperluannya) Sekarang itu, berita sudah jadi bisnis. Lumrah ta pak Lurah?

RL TANPASEMBADA       :  (Tertawa)Genjik, saudari ini ternyata peka sekali, tidak eman-eman orang membayar dia jadi wartawan. Nah, apa yang bisa saya berikan kepada saudari?

  SANG WARTAWAN           :  Boleh saya tahu nama bapak?

RL TANPASEMBADA       :  (Tertawa) Saya lupa, kita belum kenalan, tiwas sudah ndrojos. Baik! Nama birokrasi saya Raden Lurah Tanpasembada, nama ndesanya tidak usah, itu bukan berita nak. Nah, disamping saya ini adalah carik saya, namanya Genjik. Lha, kalau itu, yang suka cungar-cungir itu, namanya Sawi, salah seorang pamong saya.

SANG WARTAWAN          :  Pertama tama pak Lurah, berapa luas wilayah desa ini, berapa banyak penduduknya, berapa orang yang punya laptop dan tv, berapa orang yang punya kerbau, berapa.....

  RL TANPASEMBADA        :  Lho, lho. Ini maunya sensus ekonomi apa sensus berita ?

SANG WARTAWAN          :  Ah ! ini yang kode etik jurnalistik. Fakta memang harus diungkap secara obyektif, meskipun bisa dibikin-bikin, rak iya ta mas ?

RL TANPASEMBADA       :  O... saya pikir mau apa. Genjik, tolong jelaskan pada saudari wartawan ini soal-soal yang disebutkan itu mengenai desa kita.

GENJIK                                 :  Nah, mas, tidak usah pakai buku monografi desa ya, lha wong bukunya saja udah hilang. Tidak harus persis ta, di bikin-bikin saja ya?


Genjik menyebutkan apa yang diketahuinya. Sang wartawan mencatat.


SANG WARTAWAN          :  Ini tentu saja ada pengaruhnya kenapa desa ini tiba-tiba saja melahirkan sinden besar macam Nyonya Semi itu. Pak Lurah. Bolehkah saya tahu apa yang menyebabkan bahwa sinden itu bisa menjadi demikian masyhur ?

RL TANPASEMBADA       :  (Tertawa sombong) Genjik, tolong jawab pertanyaan saudari itu, bagaimana aku mengelola Semi. Awas, Genjik, jangan coba-coba dikurangi, kalau perlu malah berbunga-bunga, biar tampaknya gagah.

GENJIK                                 :  (Berdehem)Bagai air jatuh di pelimbahan, bak pisau bertemu gagangnya. Desa ini, mbak wartawan, sejak jaman moyang kami tumbuh bersama sinden. Mereka tak bisa dipisahkan. Begitulah semesta jagad raya mengatur kehidupan.

SANG WARTAWAN          :  (Geleng-geleng kepala) Jadi dalam arti, bahwasannya Watugundul adalah sinden? Apa tidak keliru penilaian saya? Soalnya begini pak Lurah, hampir sulit diperoleh bahwa sebuah desa, sebab telah melahirkan seorang sinden besar, dia menjadi contoh sebuah dunia kecil yang bernama desa itu, dan sederhana pula tetapi bisa melahirkan prestasi besar. Dan itu langka. Bahkan mengejutkan. Malah terpaksa harus mengejutkan.

RL TANPASEMBADA       :  Ah, nak, nak. Tulis itu, tulis itu ! Genjik, coba kasih saudari wartawan ini voucher perawatan di salon yang paling terkenal. Ehm, nak, lanjutkan lagi penilaianmu itu, jangan rikuh. Ayo !

SANG WARTAWAN          :  (Setelah menerima rokok) Dalam mendidik seorang sinden, seperti pak Lurah sudah selayaknya bila harus berkorban materi maupun waktu, sebab itu demi kebesaran sebuah desa, dus sekaligus demi identitas budaya kita dan nilai serta semangat nasionalisme kita.

RL TANPASEMBADA       :  Tulis lagi itu, nak. Saya setuju. Pokoknya jangan sampai tercecer sedikitpun ya ? bagaimana Sawi, kamu mesthi setuju ya? Harus ! dan juga kamu, Genjik.

  GENJIK                                 :  Memang kok, sudah selayaknya begitu, tetapi......

  RL TANPASEMBADA        :  Ingat Genjik ! ini mau masuk koran. Tidak perlu pakai tetapi!

  GENJIK                                 :  He-eh, pokoknya saya setuju, mbak. Nanti ditulis ya.

RL TANPASEMBADA       :  Nak, nak. Sebagai seorang wartawan, apa pendapat saudari tentang ketenaran sinden yang saya asuh itu.


Pak Lurah mengeluarkan notesnya.


SANG WARTAWAN          :  Ehm, begini pak Lurah. Saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh pak Lurah adalah sesuatu yang luhur, sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh orang seperti bapak. Menurut saya, itu semacam.... panggilan, begitu istilahnya. Jadi suatu kerja yang penuh pengabdian, tulus, dan tanpa pamrih. E, pak Lurah, pak lurah, coba tulis itu, tulis ya.

Pak Lurah menulis.


RL TANPASEMBADA       :  (Sesudah menulis) Memang benar, nak. Tiga kali sinden saya itu menang dalam kejuaraan tingkat kabupaten, dan dua kali tingkan propinsi dan ini yang hendak direncanakan adalah tingkat nasional. Bagaimana menurut pendapatmu, nak?

SANG WARTAWAN          :  Begini.... tilis ya pak Lurah. Saya bisa memastikan pasti menang di tingkat nasional, sebab sebenarnya tidak menangnya yang penting, tapi justru bagaimana prestasi sinden itu telah mendapatkan kepercayaan penuh dari warga bangsa kita. Sudah di tulis ta, awas, jangan sampai tercecer !

SAWI                                     :  Lho, lho, maaf pak Lurah, lha kok malah wartawannya pak Lurah ? E,,, nuwun sewu.

  RL TANPASEMBADA        :  Eh, apa iya?
             (Kaget, heran) Oh hiya, tidak terasa. E, e, e, tapi nak, itu kan ndak apa-apa ya, sesekali wartawan itu di wawancarai, siapa tahu malah jadi bumbu menarik buat beritanya. Kode etik jurnalistik kok, ya mbak ya? Ndak apa-apa.

SAWI                                     :  O, jadi sekarang wartawan itu malah cari orang supaya diwawancarai. Wah, hebat itu kang, wartawannya bisa jadi hebat itu.

  GENJIK                                 :  Lho iya, kode etik jurnalistik kok !

RL TANPASEMBADA       :  Mh... maaf saudari wartawan, bawahan saya itu memang suka guyon. Tidak perlu di tulis ya, itung-itung buat selingan.


Dari luar datang sinden. Pak Lurah berdiri menyambut. Sinden masuk.

RL TANPASEMBADA       :  Nah, ini kebetulan. Perkenalkan nak wartawan, inilah sinden yang menggemparkan itu. Semi, ini wartawan yang hendak menulis kamu di koran nanti. Itu artinya kamu memang sudah bonafid, sampai jauh-jauh ada wartawan datang kemari. Ayo salaman.


Mereka bersalaman.


SANG WARTAWAN          :  Saya Lenthi, wartawan dari mingguan TEMPE. Saya sudah lima kali dapat penghargaan. Saya wartawan senior, mbak yu Sinden, eh siapa namanya ?

  SEMI                                      :  Saya Semi.

  RL TANPASEMBADA        :  A, a. Sindennya belum, Semi.

SEMI                                     :  Nama saya Semi, sinden masyhur dari desa Watugundul, asuhan Raden Lurah Tanpasembada. Delapan kali menang di tingkat kecamatan, tiga kali menang di tingkat kabupaten, dua kali menang di tingkat propinsi.

RL TANPASEMBADA       :  Begitulah kenyataannya, nak wartawan. Sunber berita yang lengkap, bukankah begitu Genjik dan Sawi. Ayo, bilang saja ya.

  GENJIK dan SAWI              :  (Bersama sama-koor) Ya, pak Lurah. Ya, pak Wartawan.

SANG WARTAWAN          :  (Tertawa kecil) Bagus, bagus. Kepada mbak yu Semi, mbak yu telah memperoleh nama besar sebagai sinden, dalam hal ini, apa resep mbak yu kok langsung bisa misuwur ?

RL TANPASEMBADA       :  (Kepada Semi) Semi, kalau ngomong sama wartawan harus konsisten, runtut. Bukankah aku sudah kasih kamu brifing buat menghadapi wartawan ?

SEMI                                     :  Resep saya, mbak, adalah bangun pagi teratur, minum susu, mengunyah kencur, ajeh pakai pilis,....

RL TANPASEMBADA       :  E, e, e, jangan yang itu njawabnya. Ayo, pakai saja teks yang untuk latihan dulu itu.

  SANG WARTAWAN           :  Maksud pak Lurah ?

SAWI                                     :  Anu mbak, supaya wawancaranya itu lancar dan sistematik, mbak yu sinden itu sudah di tatar khusus untuk menghadapi wartawan. Wawancara pakai naskah, begitulah.
                               
  GENJIK                                 :  Kode etik jurnalistik kok.

  SANG WARTAWAN           :  Kalau begitu apakah ada pertanyaan saya tadi didalam naskah ?

SEMI                                     :  Soal resep? Ada, begini, resepnya adalah satu, mempunyai kesadaran untuk melestarikan kekayaan kebudayaan bangsa. Dua, mengabdi sepenuhnya demi kelestarian dan perkembangan kesenian tradisional. Tiga, memiliki pandangan jauh terhadap usaha memetri kesenian adiluhung.

  RL TANPASEMBADA        :  Sampai tiga saja, Semi.


Tiba-tiba dari luar terdengar orang-orang desa berteriak-teriak, mengumpat-umpat pak Lurah, dan sang Sinden bahwa kedua orang itu telah membuat kacau desa dengan hadirnya Sinden.


SANG WARTAWAN          :  (Ternganga) Siapa mereka itu, pak Lurah. Kedengarannya kok seperti tak terkendali.

SAWI                                     :  O, .... itu memang sudah rutin di desa ini, mbak.  Itu karena memang membuktikan bahwa segala sesuatu harus diatur begitu. Semakin orang tidak suka dengan berteriak-teriak seperti itu, terbukti mbak yu Sinden makin terkenal. Jangan lupa itu sudah diatur.










































~LIMA~

Dua orang warga desa masuk. Seorang menuntun seorang lagi yang tengah menderita sinthing.

WARGA DESA I                 :  Nah, pak Lurah !, saya tidak terima, abang saya jadi gendeng seperti ini gara-gara Sinden sialan itu. Dia sudah menjual semua miliknya. Harta bendanya sudah ludes, keluarganya kocar-kacir lantaran kedanan sinden itu. Saya tidak terima.

  RL TANPASEMBADA        :  Lho, lho nanti dulu......

WARGA DESA I                 :  Pokoknya pak Lurah mesti tanggung jawab ! pilih salah satu, desa ini atau Sinden itu !

ORANG SINTING               :  Cihui, Sinden bahenol, bahenol nerkom. Ihik, ihik. Sinden kupeluk, sinden kukenyut-kenyut, sindennya kenyil-kenyil. Aduh bapa, aduh simbok, hati beta jadi senut-senut. Duh, Sindenku......

  WARGA DESA I                  :  Lihat, pak Lurah, lihat !

SAWI                                     :  He ! Kempo ! Itu tidak ada hubungannya dengan pak Lurah, apa kamu tidak lihat bahwa ini sedang ada tamu !

WARGA DESA I                 :  Tidak ada hubungannya, matamu ! Sinden itu sudah banyak bikin gara-gara !

  SAWI                                     :  Lho itu salah mereka sendiri !

WARGA DESA I                 :  Matamu memang merem, kang Sawi. Mulutmu sekarang ngomongnya sudah lain.

ORANG SINTHING            :  Kepala ayam di plintir-plintir, di goreng dimakan dengan minum dawet, jaman sekarang tak usah mikir-mikir kalau rasanya memang kebelet.
                                                     (Tertawa) Sinden, ayo kubopong, mana kamu Sinden...

  WARGA DESA I                  :  Lihat ! buka matamu kang Sawi ! siapa yang sinthing ini, lihat !

RL TANPASEMBADA       :  Kempo ! Sudah, aku sudah dengar. Kamu butuh berapa buat menyembuhkan kakangmu ini ? Eh, Sawi, coba kamu kasih si Kempo ini uang yang sudah saya siapkan itu.

  WARGA DESA I                  :  Pak Lurah, itu namanya sudah menyinggung perasaan.

RL TANPASEMBADA       :  Ayo, Sawi, kakangnya Kempo ini memang harus segera di sembuhkan. Kita wajib menyumbang untuk mereka yang kekurangan.


Sawi maju menyodorkan uang kepada Kempo. Mula-mula Kempo menolak, tapi akhirnya menerima juga.


RL TANPASEMBADA       :  Sumbanganku punya arti penting untuk proyek kemanusiaan. Uangku ini cukup untuk membawa kakangmu ke dokter di kota.

WARGA DESA I                 :  Em..soalnya tadi anu, kok pak Lurah, saya memang ndak tahu kalau harus ke dokter. Terimakasih pak Lurah.


Kempo beranjak dari tempat itu menuntun orang sinthing yang terus saja ngomel-ngomel.


SAWI                                     :  Pak Lurah tidak segan memberikan dana untuk warganya yang miskin, mas wartawan.

RL TANPASEMBADA       :  (Kepada wartawan) Nak, itu jangan kamu tulis. Jiwa sosial tidak perlu kelewat jelas diperlihatkan. Saya tidak enak.

GENJIK                                 :  (Kepada wartawan dan Semi) Pak Lurah memang benar. Itu beliau lakukan agar jangan sampai nanti timbul kesan berlebihan. Bukankah begitu mbak yu Semi ?

SEMI                                     :  Bagaimanapun juga yang namanya berlebih-lebihan itu kurang sreg bagi kami orang-orang desa ini, meskipun kami tahu bahwa mas wartawan sesekali justru penasaran ingin menulis.

RL TANPASEMBADA       :  (Tertawa) Sinden saya tepat sekali, nak. Dia ini contoh yang dalam memperlakukan seorang wartawan. Nah, saya bisa memberikan buktinya. Sawi, kasih sang wartawan ini yang sudah saya siapkan sejak kemarin.


Sawi menyodorkan sebuah amplopan. Sang wartawan terheran-heran.


  RL TANPSEMBADA           :  Jangan kaget, nak. Itu sudah tradisi kami.

  SANG WARTAWAN              :       Itu, itu……

RL TANPASEMBADA       :  Harap dimaklumi, nak.  Jauh sebelum ada istilah wartawan amplop, kami sudah lama sekali punya adat istiadat amplop.
                                                    (Tertawa ramah) Dan itu harus saudari tulis !

  SANG WARTAWAN              :       Lho, kok ………..

RL TANPASEMBADA       :  Jangan cemas dulu, saudari menuliskan bahwa saudari datang ke desa ini disambut dengan upacara adat istiadat yang meriah.
                                                    (Tertawa ramah) Itu maksud saya.


Sang wartawan tampak mengerti, tersenyum-senyum. Sawi menyodorkan lagi amplopnya. Sang wartawan malu-malu menerima amplop itu. Tiba-tiba dari luar terdengar lagi suara orang-orang yang memprotes pak Lurah. Seorang tua masuk tergopoh-gopoh.


WARGA DESA II                :  (Marah) Sialan ! Sinden itu memang setan cilik tak tahu diuntung ! Pak Lurah ! anak saya sudah dibikin celaka sama Sinden itu, dia menggoda anak saya, dan sekarang anak saya itu mau menjual kebun kelapa saya!

RL TANPASEMBADA       :  Genjik, Genjik, Coba kamu ladeni orang ini. Saya sudah capai mengurus soal-soal seperti itu.

GENJIK                                 :  Mengemban titah pak Lurah, saya mau tanya kenapa anakmu itu tidak kamu larang, kamu kan orang tuanya. Itu soal gampang. Gampang! Sebab kamu bisa menyelesaikan sendiri. Tanpa harus marah-marah di sini. Pulang saja, ya?

WARGA DESA II                :  Pulang-pulang bagimana. Dia itu mau membunuh saya kalau saya melarang menjual kebun kelapa itu ! Sinden itu masalahnya sekarang sudah macem- macem.

  GENJIK                                 :  Kamu sudah tua, dan itu bukan urusan kami, pulang saja, ya?

  WARGA DESA II                :  Tidak bisa ! Gampang rupanya ngusir orang!

  GENJIK                                 :  Maap, pak. Tangan saya tiba-tiba jadi gatel! Pulang, ya?

WARGA DESA II                :  E . . . . Kamu kira saya tua-tua begini tidak berani, apa kamu tidak mengerti saya punya aji-aji Sumur Gemuling, he !?

RL TANPASEMBADA       :  Sudah, sudah Genjik. Emh, Sawi, coba kamu kasih bapak ini amplop yang sudah disediakan untuk perkara seperti ini.


Sawi menyodorkan amplopan kepada warga desa itu.


RL TANPASEMBADA       :  Itu cukup untuk mengganti harga kebun kelapamu. Kasih amplop itu pada anakmu.


Warga desa itu menerima amplop. Senyum-senyum, sambil bernjak pergi.


RL TANPASEMABADA    :  (Kepada sang wartawan) Nah, itu bukti lagi, nak. Bukti bahwa kami ini kuat sekali percaya kepada adat istiadat kami. Masih tidak percaya ? Baik. Sekarang saudari bisa melihat-lihat apa yang sedang kami persiapkan selama ini. Mari saya tunjukkan sesuatu yang lebih penting untuk ditulis di koran saudari. Semi, kamu ikut aku. Genjik dan Sawi tinggal disini sementara aku dan Semi mengantar nak wartawan.


Pak Lurah dan Semi mengantar sang wartawan. Sawi dan Genjik tinggal. Setelah mereka pergi.


  SAWI                                     :  Aduh, lega rasanya. Lega sekali.

  GENJIK                                 :  Yang lega apanya kang ?

  SAWI                                     :  Untung tadi pak Lurah tidak langsung tanya soal SPJ.

  GENJIK                                 :  SPJ apa kang?

  SAWI                                     :  Ya, SPJ duit yang sudah dikeluarkan itu. Padahal kuitansinya tidak                    ada. Aduh, lega aku.

  GENJIK                                 :  Lho iya, tapi kang sawi mestinya kan harus kasih laporan ta ?

SAWI                                     :  Itu masalahnya. Sebenarnya saya mau lapor terus terang, tapi Le, aku ada nak wartawan itu, jangan-jangan nanti aku masuk koran. Padahal, duit sisanya itu Le, sudah saya gunakan buat nalangi cicilan Kerbau.

  GENJIK                                 :  Wah, itu namanya sudah gawat, kang !

SAWI                                     :  Le, apa betul, pak Bupati itu segera mau rawuh ke desa ini buat meresmikan dan merestui pak Lurah dan Semi untuk mengikuti festival tingkat nasional itu ?

GENJIK                                 :  Lho, kamu itu bagaimana ta kang. Jadwalnya kan sudah dikasih sama kita?

SAWI                                     :  Itu artinya, pak Lurah sedang sibuk-sibuknya. Beliau pasti tidak sempat tanya soal SPJ, ya ta ?

  GENJIK                                 :  Itu tidak baik kang. Kalau kang Sawi tidak lapor. Saya lapor.

  SAWI                                     :  Wah, jangan Le. Jangan.

  GENJIK                                 :  Kalau tidak lapor itu kan namanya tidak disiplin ta kang?

SAWI                                     :  Untuk kali ini saya mohon dispensasi dari kamu Le, tapi besok tidak sudah, yakin ! Buat kali ini saja !

GENJIK                                 :  Wah ya tidak bisa. Itu masalah berat, kang! Kamu sudah tidak bisa naik banding lagi.

  SAWI                                     :  Terus. Terus saya mesti bagaimana?

  GENJIK                                 :  Gampang, kang. Saya bisa menutup soal itu, asal……….

  SAWI                                     :  Asal apa Le, asal apa?

GENJIK                                 :  Asal kang Sawi bisa kasih saya berapa persen untuk tutup mulut kalau nanti kang Sawi ada sisa anggaran.

  SAWI                                     :  Anu, anu Le. Emh . . . . . lima persen saja, bagaimana?

  GENJIK                                 :  Itu pekerjaan sulit dan berat lho kang ! Ingat !

  SAWI                                     :  Sepuluh ?

  GENJIK                                 :  Menurut pengalaman saya, mestinya itu dua puluh persen.

  SAWI                                     :  Tiga puluh persen, bagaimana ?

  GENJIK                                 :  Empat puluh persen !

  SAWI                                     :  Lima puluh !

GENJIK                                 :  Sudah enam puluh, belum termasuk beli odol, sikat gigi, sabun cuci, sampo, . . .

  SAWI                                     :  (Memotong) Terus bagian saya berapa itu, njik ?!

  SAWI                                     :  Milih ketahuan atau slamet ?

  GENJIK                                 :  Wah, berat, njik !

  GENJIK                                 :  Milih ketahuan atau slamet ?






~LIMA~

Tiba-tiba muncul Narada dan Yamadipati, dari atas mereka memandang Genjik dan Sawi.


NARADA                         :    Rupanya, kalau tidak keliru kita sudah sampai didesa Watugundul, yayi Yamadipati. Orang angon bebek disana tadi bilang disini tempatnya. Lho! Yayi, aku mendengar pembicaraan orang Marcapada, Yayi !

     YAMADIPATI                 :    Benar, Wa Narada.

     NARADA                         :    Mbok coba kamu liat disana itu, kelap-kelip itu apa yayi ?

     YAMADIPATI                 :    Itu yang namanya makhluk marcapada, wa!

     NARADA                         :    Orang Marcapada ? Emh, coba aku sapanya mereka itu !

     GENJIK                            :    (Kepada Sawi) Ana ambune, ning ora ketok wujude!

     NARADA                         :    He ! Orang Marcapada !

     GENJIK                            :    (Mencari-cari) Nah, itu suaranya. Tapi mana orangnya!

NARADA                         :    He ! Orang Marcapada apa kamu tahu di mana rumahnya Lurah Watugundul ?!

     GENJIK                            :    Na, itu dia! He ! makhluk E.T. ! kamu tanya yang sopan. Turun !

NARADA                         :    Wella dallah, Orang Marcapada itu tidak urus yayi ! Coba kamu bereskan saja yayi Yamadipati!

     YAMADIPATI                 :    Beres, wa!
            (Mendekati Genjik dan Sawi) He ! Orang Marcapada jelek ! Saya ini utusan dewa !

     GENJIK                            :    He ! makhluk E.T yang jelek! Saya ini utusan pak Lurah !

     YAMADIPATI                 :    O….sudah gendheng kamu! Tak cabut nyawamu !


Yamadipati pasang kuda-kuda hendak nyabut nyawa Sawi dan Genjik. Pak Lurah datang, heran melihat Sawi dan Genjik meronta-ronta.


     RL TANPASEMBADA   :    E…e…e… Njik, Sawi, kamu ada pa ini ?!

     GENJIK                            :    Itu, itu makhluk E.T. itu E.T !

     RL TANPASEMBADA   :    Hah ?! Sang hyang dewa ?! he, njik ! itu dewa !ayo nyembah !


Bertiga mereka nyembah Narada dan Yamadipati.


RL TANPASEMBADA   :    Ampun, paduka, pembantu saya ini memang belum mengenal paduka. Dan, kedatangan paduka ke Marcapada ini mengejutkan kami.

NARADA                         :    Kedatangan kami ini memang mengemban titah sang Hyang Guru di khayangan. Maka tepatlah kiranya, bila aku bisa langsung berhadapan dengan Lurah desa Watugundul.

RL TANPASEMBADA   :    Syukur, sang hyang dewa dapat mengunjungi kami dengan titah yang luar biasa ini. Kalaulah saya boleh tahu, tugas apakah gerangan yang di bebankan sang hyang dewa?

NARADA                         :    Sang Hyang Guru di khayangan member tugas aku untuk menjumpai Sinden Watugundul ini, yang kabarnya hendak mengikuti kejuaraan festifal tingkat nasional.

RL TANPASEMBADA   :    Kebetulan, kami sedang mempersiapkan tugas suci itu. Saya sangat berterima kasih bila upaya kami ini mendapat perhatian besar para dewa di khayangan.

     NARADA                         :    Kalau begitu, bolehkan saya melihat sindenmu itu?

     RL TANPASEMBADA   :    Wi, panggil Semi kemari


Sawi memanggil Sinden. Sinden keluar disertai dengan wartawan


RL TANPASEMBADA   :    Inilah Sinden kami itu, sang Hyang dewa. Dan mas yang satu itu adalah seorang wartawan.

     NARADA                         :    (Kaget) Wartawan?! Kemari Ki Lurah!
                                                    Wartawan siap memotret Narada dan Yamadipati


     NARADA                         :    Usir keluar wartawan itu! Usir!

     RL TANPASEMBADA   :    Wi! Njik! Tahu ta tugasmu? Bawa keluar dulu mbak wartawan.


Sawi dan Genjik menyeret wartawan keluar. Wartawan meronta, tapi orang itu tak peduli.


     NARADA                         :    Na,begitu. Aku paling anti kepada wartawan!
            (Kepala Semi) Kudengar kamu ini sinden misuwur, kalau aku boleh tahu, siapa namamu?

SEMI                                 :    Semi, sinuhun. Saya menghaturkan selamat datang kepada sang hyang dewa, mudah-mudahan salam saya ini diterima.

     NARADA                         :    Kuterima, kuterima suratmu yang dulu!
            (Kepada Lurah) Nah, ki Lurah, aku kepingin mendengar alunan suara sindenmu ini!

     RL TANPASEMBADA   :    Baiklah, sinuhun. Mi, itu artinya kamu disuruh nyinden.

     SEMI                                 :    Baiklah, Pak Lurah.


            Semi mulai menyanyikan tembang à dilakukan improvisasi dengan adanya dialog para dewa yang meminta sinden menembangkan lagu yang berirama gembira, kemudian diikuti adegan komedi denga tingkah laku pemain lainnya yang menari nakal. Ketika Semi selesai menyayi.


YAMADIPATI                 :    Rontok rasanya hatiku demi mendengar alunan tembang sinden ini. Wa…, sinden ini memang hebat, wa!

RL TANPASEMBADA   :    Demikianlah yang bisa kami persembahkan kepada sinuhun. Kami rupanya ingin meminta restu sinuhun agar sinden kami bisa menang di festival nanti.

NARADA                         :    Kalau cuma restu, kuberi!. Tapi ada sesuatu yang lebih penting lagi, ki Lurah. Sang Hyang Adi Guru di khayangan memberikan titah padaku dan yayi Yamadipati ini untuk segera memboyong sindenmu, kubawa ke khayangan.

YAMADIPATI                 :    Wa, apa tidak sebaiknya Semi ini tetap saja di Marcapada. Ia orang Marcapada, hidup di Marcapada, tempatnya di Marcapada. Jangan dibawa ke khayangan, wa.

NARADA                         :    Hush! Jangan mlenca-mlence mulutmu, yayi. Ini bahaya! Baiklah, Ki Lurah, ini sudah kubawa surat perintah dan surat keputusannya.

     RL TANPASEMBADA   :    Tapi saya tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba seperti ini!

     NARADA                         :    Jangan ngomong panjang Lebar, terima saja ini!


RL Tanpasembada menerima SP dan SK itu.


     RL TANPASEMBADA   :    Tapi mestinya kami harus berembug dulu dengan Semi, sinuhun.

NARADA                         :    Berembuglah sana. Berembug dan berembug itu kerja orang marcapada. Sana berembug sana!

RL TANPASEMBADA   :    Bagaimana Mi? Ini sudah tidak bisa ditawar lagi, kamu harus ke khayangan. Artinya aku harus kehilangan kamu. Baiklah, terima saja ini Semi. Dan, hati-hati saja Mi.


Semi menerima SK dan SP. Lurah pergi. Narada mendekati Semi


NARADA                         :    Kami dewa-dewa di khayangan tahu apa yang harus dilakukan untukmu Semi. Khayangan akan menjadi tempatmu yang baru. Ingatlah, kehormatan orang Marcapada bisa diboyong ke khayangan.

     SEMI                                 :    Saya takut sinuhun.

NARADA                         :    Kenapa takut? Di khayangan kamu bisa mengembangkan kemampuanku yang hebat itu. Bagaimana Semi?

SEMI                                 :    Saya bisa memutuskan, asal saya mesti berembug dulu dengan suamiku, sinuhun.

NARADA                         :    Berembug lagi? Baiklah, kamu boleh berembug dengan suamimu, tapi ingat, titah itu sudah keputusan dan tidak perlu kamu berjalan jauh ke rumah, kusebda kamu bisa langsung sampai di rumah! Alakazam!


Semi tiba-tiba sudah hadir di rumahnya. Panjang heran.


PANJANG                        :    Lho Semi, kenapa kamu sudah di rumah lagi ? Kamu urung menyanyi bersama pak Lurah ?

     SEMI                                 :    Tidak kang. Aku pulang memang membawa kabar penting!

     PANJANG                        :    Apa lagi?

SEMI                                 :    Ini kang, tadi ada utusan dari khayangan, bermaksud memboyong saya ke khayangan. Ini kang surat perintah dan keputusannya.


Panjang membaca. Setelah selesai, ia marah


PANJANG                        :    Tidak! Jangan Semi! Tempatmu bukan di khayangan! Tempatmu di sini! Di khayangan banyak wereng, banyak rayap. Kamu bakal digerogoti, jiwamu rusak. Kamu cuma bakal dipakai jadi kalangenan. Tidak Semi!

SEMI                                 :    Tapi di khayangan, aku bakal bisa berkembang lebih baik. Dewa-dewa bakal menggodogku, kang!

PANJANG                        :    Tidak! Kemampuanmu itu justru bakal sirna, oleh penyakit kesombongan khayangan! Tidak Semi!

     SEMI                                 :    Aku mesti berangkat, ini sudah keharusan, kang!

     PANJANG                        :    Kamu mulai pertengkaran lagi? Edan!


Panjang masuk. Keluar membawa gelas berisi racun dan clurit


PANJANG                        :    Sekarang kalau kamu ndak nggugu suamimu, ini, ini, obat nyamuk di tangan kananku atau clurit di tangan kiriku.

     SEMI                                 :    Aduh, kang! Jangan kang! Aku mohon jangan!

     PANJANG                        :    Obat nyamuk atau clurit?

     SEMI                                 :    Jangan! Jangan kang!


Narada dan Yamadipati tiba-tiba masuk.


NARADA                         :    E… e… e… nanti dulu kisanak, jangan keburu nafsu! Dipikir dulu tindakan tololmu itu!

     PANJANG                        :    Ash… pokoknya racun di tangan kananku clurit di tangan kiriku!

NARADA                         :    E… nekad kamu ya? Kusebda clurit dan obat nyamuk jatuh! Alakazam!


Racun dan clurit yang dibawa Panjang jatuh.


     PANJANG                        :    Lho kok jatuh? Ambil lagi!

     NARADA                         :    Edan, nantang kamu ya?

     PANJANG                        :    Kamu siapa? Berani-beraninya ikut campur urusanku?

     NARADA                         :    Saya ini dewa, utusan sang Hyang Guru di khayangan!

PANJANG                        :    Dewa kok tidak tahu aturan, tidak tahu sopan santun. Masuk desa tanpa permisi, masuk rumah tanpa kula nuwun!

NARADA                         :    Saya diutus oleh sang hyang adi guru untuk menjemput sindenmu ini!

PANJANG                        :    Tidak bisa! Sinden ini isteriku, aku sendiri yang ngurus bukan cuma untuk dewa-dewa macam kamu! Kelancanganmu ini sudah melanggar tatanan desa! Aku harus laporkan ini pada pak Lurah!

     NARADA                         :    E…, nanti dulu kisanak, nanti dulu!

     PANJANG                        :    Tidak bisa! Aku harus lapor pak Lurah! Ayo Semi, ikut aku!

     SEMI                                 :    Nanti dulu, kang, nanti dulu!

     PANJANG                        :    (Menyeret istrinya) Assh… pokoknya ikut! Ayoh!

     NARADA                         :    Kisanak, jangan gegabah, nanti dulu!
                                                    (Mengejar Semi dan suaminya).

YAMADIPATI                 :    (Menahan Narada)  Jangan Wa. Biarkan mereka pergi! Itu adalah hak dan kewajiban mereka. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita kepada orang Marcapada, mereka bukan dewa seperti kita, Wa. Pulang saja Wa, pulang saja!

NARADA                         :    Angger Yamadipati, engkau seorang dewa yang menjadi kiblat orang Marcapada, tidak selayaknya itu diucapakan, sebab kiblat itu bukan sekedar harapan.

YAMADIPATI                 :    Aduh Uwa Narada, kiblat itu sekarang telah menggelisahkan kita, Uwa tahu, kenapa kita diutus ke Marcapada bila memang khayangan sendiri hendak mencari kebijakan baru, dari Marcapada ini.

NARADA                         :    Angger Yamadipati, hendaklah kamu sabar, kamu ini hanya melihat satu sisi saja, nilai-nilai luhur kebijakan hidup tak hanya diperoleh dengan sekali melihat kenyataan, kamu butuh waktu untuk bisa mengerti!

YAMADIPATI                 :    Duh, uwa Narada, bagi saya tidak keliru untuk menemukan kebijakan sendiri untuk mendapat makna hidupku. Saya bukan mesin, diriku sendirilah yang menentukan kebijakan yang ada dalam sanubariku.

NARADA                         :    Sudah jadi hukum di khayangan, bahwa seorang dewa harus merencanakan keluhurannya. Dia adalah suri tauladan. Puncak harapan orang Marcapada.

YAMADIPATI                 :    Suri tauladan, tidak hanya keluar dari kedudukan yang tinggi. Suri tauladan keluar dari keluhuran hidup setiap orang. Ia tidak ditentukan, tapi keluar sendiri dari perilaku dan kebesaran jiwa. Marcapada ini lebih ragam untuk mencari kabijakan hidup dan mendewasakan diri.  Sudah Wa, aku tdiak ingin kembali ke khayangan, tidak, aku tidak akan kembali ke khayangan. Sudah Wa, sudah wa! Sudah wa!.


Yamadipati pergi.


NARADA                         :    Tunggu, angger Yamadipati! Edan tenan! Baiklah, akan kuadukan kamu kepada sang hyang adi guru di khayangan.
                                        (Terbang ke khayangan) Sang Hyang Adi Guru….!






















SELESAI

Di tulis ulang oleh Teater Dhingklik untuk kebutuhan arsip Naskah Teater Dhingklik,
Mahasiswa FBS UNY Mata Kuliah Drama Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia


Tidak ada komentar: