Social Icons

SEEKOR BEBEK YANG MATI DI PINGGIR KALI KARYA PUTHUT EA TELAAH SUDUT PANDANG ORANG PERTAMA JOSIP NOVAKOVICH

A.     Akar Masalah
Sebuah perspektif lahir dari pandangan manusia ke dalam objektivitas dunia di lingkungan sekitar. Ada tiga dimensi dalam perspektif manusia yaitu dimensi panjang, lebar dan tinggi. Tiga dimensi ini yang akan membentuk perbedaan dalam wacana manusia ketika berhadapan dengan fenomena alam, sebut saja kejadian sehari-hari. Munculnya tiga pokok dimensi ini tidak menghambat munculnya dimensi-dimensi yang lain—terutama dalam memandang realitas—pandangan-pandangan dari dimensi yang lain kerap melahirkan gagasan baru dan orisinal.
Dalam sastra yang menurut Wellek & Warren (1990:3) sebagai suatu kegiatan kreatif—misalkan sastra berupa drama, puisi atau prosa memiliki perspektif-perspektif tersendiri sesuai kadar, porsi atau kebutuhan sebuah karya sastra tersebut. Perspektif ini dikenal sebagai sudut pandang (point of view) seorang kreator ketika menjadi narator dalam karya seninya. Teks sastra berupa drama, puisi dan prosa adalah karya dari hasil tulis seorang kreator melalui dimensi yang diberi nama sudut pandang. Melalui sudut pandang, seorang kreator akan mempermudah menemukan karakter tokoh, kekuatan latar dan kemudahan ide si kreator dalam menggarap naskahnya beserta hubungannya dengan unsur-unsur dalam yang lain.
Prosa berbeda dengan drama dan puisi. Bagi drama ia adalah karya yang diciptakan untuk dipentaskan serta memiliki penonjolan khas dari segi dialog yang komunikatif dan responsif. Pengarang naskah drama disebut dramawan dan penulis skenario. Bagi puisi ia semacam makanan yang harus dicecap, ukurannya dalam puisi adalah bahasa yang harus dirasakan. Di puisi yang menjadi sarana estetik dan metaforik adalah bahasa. Istilah Sayuti (2010:24) puisi adalah karya estetis yang memanfaatkan sarana bahasa secara khas. Dante Alighieri seorang sastrawan asal Italia menulis puisi epik panjang dalam La Divina Commedia (1307) kisah pencarian seorang lelaki terhadap Tuhan dibimbing oleh sukma kekasihnya. Pengamat sastra zaman itu meyakini karya kontroversial itu diilhami oleh kisah isra’ mi’raj Nabi Muhammad dari buku Ibnu Farabi berjudul Al-Futuhat al-Makiyah.[1] Pengarang puisi disebut penyair dan sastrawan. Sedangkan prosa dibagi menjadi dua genre yaitu novel dan cerpen. Dua genre tersebut adalah cerita buatan (fiktif) yang berasal dari pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain. Hanya saja perbedaan novel dan cerpen terletak pada batas panjang-pendeknya cerita. Sehingga dalam perkembangannya selain novel dan cerpen ada juga novelet (novelette) yang batas panjang-pendeknya ada di antara novel dan cerpen.[2] Pengarang prosa disebut novelis, prosais, cerpenis dan fiksius.
Cerpen sebagai bagian dari genre prosa yang “mudah” ditulis dan memiliki masa waktu yang cepat dibaca—istilah kritikus anonim yaitu yang selesai dibaca sekali duduk—membutuhkan napas pendek pada proses pembuatannya. Cerpen relatif memakan waktu yang amat singkat dan tidak harus berdasarkan kronologi peristiwa. Dalam cerpen dibanding novel memiliki keberhasilan dari segi teknik bercerita, teknik vokalisasi dan membatasinya dengan minimalisasi tokoh.
Sebagai sebuah cerita rekaan, cerpen bersumber pada kehidupan manusia, binatang, malaikat, jin  dan sejenisnya. Pengambilan latar yang bermacam-macam biasanya di rumah, sawah, laut, sungai, gunung, gua, hutan, kuburan, langit dan sebagainya. Karya yang tidak lazim akan jauh dari plagiasi dan orisinal. Cerpen yang tidak lazim, penokohan yang menggunakan sebuah bunga dikisahkan dalam Solilokui Bunga Kemboja ditulis oleh fiksius muda Cecilia Oday.[3] Hakikatnya sebuah karya sastra ialah otentis, artinya dekat dengan kesunyian dan jauh dari keramaian. Sebagaimana kesunyian yang hanya akan hidup dengan sendirinya dan tidak melihat teks-teks sastra yang lain.
Cerpen ditulis berbeda dengan puisi dan drama—tidak hanya secara strukturalis. Muchtar Lubis dalam Teknik Mengarang (1980) menyebutnya cerpen harus bisa menimbulkan hempasan pada pikiran pembaca; menarik perasaan pembaca, baru kemudian menarik pikirannya. Sebuah jawaban klise karena puisi sebagai seni ekspresif melalui sarana bahasanya mampu menghempaskan pikiran pembaca. Seorang fiksius kontemporer dituntut tampil menjadi sosok pembangkang, pelanggar humanisme klasik sastra Indonesia—secara ekstrinsik maupun intrinsik.
Dalam cerpen mempunyai elemen intrinsik berupa tema, penokohan, alur, amanat dan sudut pandang—seperti yang akan dikaji lebih spesifik. Masing-masing elemen memiliki batas dan porsi sendiri, sehingga kreator hanya akan menulis sesuai porsi dan tapal batas konvensionalnya. Teknik kuno ini akan membunuh perlahan-lahan daya kreatif calon fiksius ulung. Semestinya tidak hanya kritikus sastra yang menilai karya-karya pada masa kini dalam pertentangannya dengan kaidah-kaidah yang sudah tetap.[4] Melalui perkembangannya seorang fiksius disahkan melanggar konvensi gramatika cerpen dan konvensi pembentukan perspektif kreator memandang fenomena alam. Konsepsi ini bisa tidak dinilai sebagai solusi yang cerdas dan cerdik dalam mengimbangi zaman. Sekurang-kurangnya sebagai bentuk dekonstruksi untuk melawan zaman dan waktu yang sangat monoton.
Adalah sudut pandang—hubungannya dengan cerpen—yang dapat menentukan sumber terciptanya cerita (?) sekaligus siapa yang bercerita (?). Analogikan pada sebuah kendaraan berupa kereta, masinis adalah pengendali laju dan hentinya kereta. Dalam cerpen pengendali sebuah cerita banyak berpotensi yaitu sudut pandang yang dipakai kreator dalam tokoh dan tokoh-tokoh yang dipilihnya.
Sebagai pengendali—sudut pandang mampu memusatkan konsep dari tahap ide hingga selesai. Kemudahan dan kelancaran menyampaikan bahasa-bahasa dalam cerpen ditentukan oleh tujuh puluh persen pilihan sudut pandang dari kreator. Dalam Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali karya Puthut EA menjadi isyarat bahwa sudut pandang—selain berpotensi menjadi pengendali—juga sebagai alat untuk mendekatkan gagasan dengan diri si kreator. Puthut EA memilih mendekati gagasan-gagasan yang sudah menjadi cerpen itu dengan sudut pandang orang pertama.
Sebuah eksekusi yang tidak rasional bila dalam sebuah cerpen tidak bisa memakai puluhan metode sudut pandang. Artinya satu ide cerita setelah memakai sudut pandang orang ketiga lalu memakai sudut pandang orang pertama, setelah memakai sudut pandang orang pertama lalu memakai sudut pandang orang kedua, setelah memakai sudut pandang orang kedua lalu memakai sudut pandang objektif, hingga seterusnya. Novakovich (2003:134) menegaskan sudut pandang sebuah atau beberapa titik yang nyaman, dan dari situlah kita mengamati cerita. Tentang sudut pandang—telaah mendalam terhadap cerpen-cerpen Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali karya Puthut EA—secara spesifik akan menyikapinya menggunakan telaah mendalam sudut pandang orang pertama teori Josip Novakovich.
B.     Kaji Teori
Kerap terjadi sudut pandang dilambangkan sebagai sumber cerita atau sumber informasi. Sebuah pertanyaan mendasar menyebutkan, dari manakah terciptanya sebuah cerita?
Sudut pandangan (point of view), Tarigan (2008:136) menyebutkan sebagai posisi fisik atau tempat persona. Kreator melihat dan menyajikan gagasan-gagasan atau peristiwa-peristiwa merupakan perspektif atau pemandangan fisik dalam ruang dan waktu yang dipilih oleh kreator bagi personanya, serta mencakup kualitas-kualitas emosional dan mental persona yang mengawasi sikap dan nada. Sudut pandang melibatkan sejumlah banyak masalah pokok dalam sastra seperti person/pembicara, jarak retoris, dan komentar kepengarangan.
Sebagai jarak retoris antar pengarang dan tokoh yang hendak diwakilkan, sudut pandang memberikan sikap kepada kreator bahwa masih ada jarak untuk memberikan spasi yang dekat dan jauh untuk lebih masuk ke dalam sebuah isi cerita. Sudut Pandang Orang Pertama termasuk dalam segmen yang paling dekat dengan kreator. Sudut Pandang Orang Pertama memudahkan mengungkapkan konflik psikologis tokoh utama dan melemahkan tokoh yang lain. Novakovich (2003:135) menulis Sudut Pandang Orang Pertama dalam cerita fiksi tidak harus mewakili si pengarang. Orang pertama—sebut saja narator—bagi Josip adalah sebuah persona yang berarti topeng. Dalam sebuah kasus-kasus tertentu Sudut Pandang Orang Pertama ini kudu berbeda dengan diri pribadi kreator. Sudut Pandang Orang Pertama bebas memilih—kata Josip lagi—agama, politik, keindahan sendiri, yang mungkin, tetapi tidak harus, sama seperti yang kreator miliki.
Dalam variasi pendekatan Orang Pertama yang tradisional ini, Josip Novakovich menggunakan konsep Sudut Pandang Beberapa Orang Pertama dan berganti-gantian menampilkannya. Lazimnya, pada permulaan bab-bab baru dengan narator yang baru pula. Kata Josip lagi, konsep ini merupakan strategi yang menawarkan jenis suara, sudut pandang dan cara berpikir yang berbeda-beda.
Konsep Sudut Pandang Beberapa Orang Pertama di mata kritikus lainnya—sebut Suminto A. Sayuti  tidak masuk pengklasifikasian. Sayuti (2000:157–165) menyebutkan sudut pandang orang pertama dalam dua jenis aspek, pertama Sudut Pandang first person-central (akuan sertaan), dan kedua Sudut Pandang first person peripheral (akuan tak sertaan). Demikian di mata Tarigan (2008:136–141) sudut pandang orang pertama dibagi menjadi dua jenis aspek Sudut Pandang yang Berpusat Pada Orang Pertama (first person central point of view) dan Sudut Pandang yang Berkisar Sekeliling Orang Pertama (first person peripheral point of view).
Untuk Sudut Pandang Beberapa Orang Pertama mungkin menjadi solusi yang baik untuk menulis cerpen, khususnya jika cerita berpusat pada sebuah konflik yang tajam, kata Josip. Namun, sekalipun demikian karena cerpen harus membentuk sebuah fokus dengan cepat dan mempertahankan fokus itu, berpindah-pindah sudut pandang mungkin dapat mengganggu jalan cerita. Sebab itu, Josip juga memberikan konsep yang ketiga tentang sudut pandang yaitu Narator Orang Pertama yang Tidak Bisa Dipercaya. Konsep ini diakui oleh Josip bahwa kita menemukan paradigma yang paling sederhana tentang narator yang tidak bisa dipercaya, dalam cerita fabel tentang anggur yang masam: Pembicara mengatakan bahwa dia sebenarnya tidak menginginkan anggur itu, yang menurutnya terlalu hijau, padahal sudah jelas dia menginginkannya tetapi tidak bisa mendapatkannya.






[1] Anton Kurnia, Ensiklopedi Sastra Dunia, (2006), hlm. 7. Sebagian kecil La Divina Commedia telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Anton Kurnia, sebagian di antaranya dipublikasikan di rubrik puisi harian Jawa Pos (2002).
[2] Dalam sastra Barat, menurut panjang pendeknya, cerpen (short story) dibagi menjadi tiga yaitu cerpen pendek (short short stories), cerpen biasa (short stories), dan cerpen panjang (long short stories). Lihat Hermawan Aksan, Proses Kreatif Menulis Cerpen, (2011), hlm. 21.
[3] Cerpen pilihan Kompas 2010, Dodolitdodolitdodolibret, (2011), hlm. 85. Solilokui Bunga Kemboja oleh kritikus Arif Bagus Prasetyo dinilai sebagai cerpen bertema klasik populer dengan gaya romantis-sentimentil populer.
[4] Suminto A. Sayuti, Teks Sastra: Komunikasi dan Resepsi, (Diktat 2008), hlm. 2. Sayuti menulis, tugas kritikus sastra adalah menilai karya-karya pada masa kini dalam pertentangannya dengan kaidah-kaidah yang sudah tetap. Kritikus juga menentukan apakah karya-karya tersebut cukup memadai dalam mempraktikkan puitika yang sudah mapan.

Tidak ada komentar: