A.
Akar Masalah
Sebuah perspektif lahir
dari pandangan manusia ke dalam objektivitas dunia di lingkungan sekitar. Ada
tiga dimensi dalam perspektif manusia yaitu dimensi panjang, lebar dan tinggi.
Tiga dimensi ini yang akan membentuk perbedaan dalam wacana manusia ketika
berhadapan dengan fenomena alam, sebut saja kejadian sehari-hari. Munculnya
tiga pokok dimensi ini tidak menghambat munculnya dimensi-dimensi yang
lain—terutama dalam memandang realitas—pandangan-pandangan dari dimensi yang
lain kerap melahirkan gagasan baru dan orisinal.
Dalam sastra yang
menurut Wellek & Warren (1990:3) sebagai suatu kegiatan kreatif—misalkan
sastra berupa drama, puisi atau prosa memiliki perspektif-perspektif tersendiri
sesuai kadar, porsi atau kebutuhan sebuah karya sastra tersebut. Perspektif ini
dikenal sebagai sudut pandang (point of view) seorang kreator ketika
menjadi narator dalam karya seninya. Teks sastra berupa drama, puisi dan prosa
adalah karya dari hasil tulis seorang kreator melalui dimensi yang diberi nama
sudut pandang. Melalui sudut pandang, seorang kreator akan mempermudah
menemukan karakter tokoh, kekuatan latar dan kemudahan ide si kreator dalam
menggarap naskahnya beserta hubungannya dengan unsur-unsur dalam yang lain.
Prosa berbeda dengan
drama dan puisi. Bagi drama ia adalah karya yang diciptakan untuk dipentaskan
serta memiliki penonjolan khas dari segi dialog yang komunikatif dan responsif.
Pengarang naskah drama disebut dramawan dan penulis skenario. Bagi puisi ia
semacam makanan yang harus dicecap, ukurannya dalam puisi adalah bahasa yang
harus dirasakan. Di puisi yang menjadi sarana estetik dan metaforik adalah
bahasa. Istilah Sayuti (2010:24) puisi adalah karya estetis yang memanfaatkan
sarana bahasa secara khas. Dante Alighieri seorang sastrawan asal Italia
menulis puisi epik panjang dalam La Divina Commedia (1307) kisah pencarian
seorang lelaki terhadap Tuhan dibimbing oleh sukma kekasihnya. Pengamat sastra
zaman itu meyakini karya kontroversial itu diilhami oleh kisah isra’ mi’raj
Nabi Muhammad dari buku Ibnu Farabi berjudul Al-Futuhat al-Makiyah.[1] Pengarang
puisi disebut penyair dan sastrawan. Sedangkan prosa dibagi menjadi dua genre
yaitu novel dan cerpen. Dua genre tersebut adalah cerita buatan (fiktif)
yang berasal dari pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain. Hanya saja
perbedaan novel dan cerpen terletak pada batas panjang-pendeknya cerita.
Sehingga dalam perkembangannya selain novel dan cerpen ada juga novelet (novelette)
yang batas panjang-pendeknya ada di antara novel dan cerpen.[2]
Pengarang prosa disebut novelis, prosais, cerpenis dan fiksius.
Cerpen sebagai bagian
dari genre prosa yang “mudah” ditulis dan memiliki masa waktu yang cepat
dibaca—istilah kritikus anonim yaitu yang selesai dibaca sekali
duduk—membutuhkan napas pendek pada proses pembuatannya. Cerpen relatif memakan
waktu yang amat singkat dan tidak harus berdasarkan kronologi peristiwa. Dalam
cerpen dibanding novel memiliki keberhasilan dari segi teknik bercerita, teknik
vokalisasi dan membatasinya dengan minimalisasi tokoh.
Sebagai sebuah cerita
rekaan, cerpen bersumber pada kehidupan manusia, binatang, malaikat, jin dan sejenisnya. Pengambilan latar yang
bermacam-macam biasanya di rumah, sawah, laut, sungai, gunung, gua, hutan,
kuburan, langit dan sebagainya. Karya yang tidak lazim akan jauh dari plagiasi
dan orisinal. Cerpen yang tidak lazim, penokohan yang menggunakan sebuah bunga
dikisahkan dalam Solilokui Bunga Kemboja ditulis oleh fiksius muda Cecilia
Oday.[3]
Hakikatnya sebuah karya sastra ialah otentis, artinya dekat dengan kesunyian
dan jauh dari keramaian. Sebagaimana kesunyian yang hanya akan hidup dengan
sendirinya dan tidak melihat teks-teks sastra yang lain.
Cerpen ditulis berbeda
dengan puisi dan drama—tidak hanya secara strukturalis. Muchtar Lubis dalam Teknik
Mengarang (1980) menyebutnya cerpen harus bisa menimbulkan hempasan pada pikiran
pembaca; menarik perasaan pembaca, baru kemudian menarik pikirannya. Sebuah
jawaban klise karena puisi sebagai seni ekspresif melalui sarana bahasanya
mampu menghempaskan pikiran pembaca. Seorang fiksius kontemporer dituntut
tampil menjadi sosok pembangkang, pelanggar humanisme klasik sastra Indonesia—secara
ekstrinsik maupun intrinsik.
Dalam cerpen mempunyai
elemen intrinsik berupa tema, penokohan, alur, amanat dan sudut pandang—seperti
yang akan dikaji lebih spesifik. Masing-masing elemen memiliki batas dan porsi
sendiri, sehingga kreator hanya akan menulis sesuai porsi dan tapal batas
konvensionalnya. Teknik kuno ini akan membunuh perlahan-lahan daya kreatif
calon fiksius ulung. Semestinya tidak hanya kritikus sastra yang menilai
karya-karya pada masa kini dalam pertentangannya dengan kaidah-kaidah yang
sudah tetap.[4]
Melalui perkembangannya seorang fiksius disahkan melanggar konvensi gramatika
cerpen dan konvensi pembentukan perspektif kreator memandang fenomena alam. Konsepsi
ini bisa tidak dinilai sebagai solusi yang cerdas dan cerdik dalam mengimbangi
zaman. Sekurang-kurangnya sebagai bentuk dekonstruksi untuk melawan zaman dan
waktu yang sangat monoton.
Adalah sudut
pandang—hubungannya dengan cerpen—yang dapat menentukan sumber terciptanya cerita
(?) sekaligus siapa yang bercerita (?). Analogikan pada sebuah kendaraan berupa
kereta, masinis adalah pengendali laju dan hentinya kereta. Dalam cerpen
pengendali sebuah cerita banyak berpotensi yaitu sudut pandang yang dipakai
kreator dalam tokoh dan tokoh-tokoh yang dipilihnya.
Sebagai
pengendali—sudut pandang mampu memusatkan konsep dari tahap ide hingga selesai.
Kemudahan dan kelancaran menyampaikan bahasa-bahasa dalam cerpen ditentukan
oleh tujuh puluh persen pilihan sudut pandang dari kreator. Dalam Seekor
Bebek yang Mati di Pinggir Kali karya Puthut EA menjadi isyarat bahwa sudut
pandang—selain berpotensi menjadi pengendali—juga sebagai alat untuk
mendekatkan gagasan dengan diri si kreator. Puthut EA memilih mendekati
gagasan-gagasan yang sudah menjadi cerpen itu dengan sudut pandang orang
pertama.
Sebuah eksekusi yang
tidak rasional bila dalam sebuah cerpen tidak bisa memakai puluhan metode sudut
pandang. Artinya satu ide cerita setelah memakai sudut pandang orang ketiga
lalu memakai sudut pandang orang pertama, setelah memakai sudut pandang orang
pertama lalu memakai sudut pandang orang kedua, setelah memakai sudut pandang
orang kedua lalu memakai sudut pandang objektif, hingga seterusnya. Novakovich
(2003:134) menegaskan sudut pandang sebuah atau beberapa titik yang nyaman, dan
dari situlah kita mengamati cerita. Tentang sudut pandang—telaah mendalam
terhadap cerpen-cerpen Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali karya
Puthut EA—secara spesifik akan menyikapinya menggunakan telaah mendalam sudut
pandang orang pertama teori Josip Novakovich.
B. Kaji
Teori
Kerap terjadi sudut
pandang dilambangkan sebagai sumber cerita atau sumber informasi. Sebuah
pertanyaan mendasar menyebutkan, dari manakah terciptanya sebuah cerita?
Sudut pandangan (point
of view), Tarigan (2008:136) menyebutkan sebagai posisi fisik atau tempat
persona. Kreator melihat dan menyajikan gagasan-gagasan atau
peristiwa-peristiwa merupakan perspektif atau pemandangan fisik dalam ruang dan
waktu yang dipilih oleh kreator bagi personanya, serta mencakup
kualitas-kualitas emosional dan mental persona yang mengawasi sikap dan nada.
Sudut pandang melibatkan sejumlah banyak masalah pokok dalam sastra seperti
person/pembicara, jarak retoris, dan komentar kepengarangan.
Sebagai jarak retoris
antar pengarang dan tokoh yang hendak diwakilkan, sudut pandang memberikan sikap
kepada kreator bahwa masih ada jarak untuk memberikan spasi yang dekat dan jauh
untuk lebih masuk ke dalam sebuah isi cerita. Sudut Pandang Orang Pertama
termasuk dalam segmen yang paling dekat dengan kreator. Sudut Pandang Orang
Pertama memudahkan mengungkapkan konflik psikologis tokoh utama dan melemahkan
tokoh yang lain. Novakovich (2003:135) menulis Sudut Pandang Orang Pertama
dalam cerita fiksi tidak harus mewakili si pengarang. Orang pertama—sebut saja
narator—bagi Josip adalah sebuah persona yang berarti topeng. Dalam sebuah
kasus-kasus tertentu Sudut Pandang Orang Pertama ini kudu berbeda dengan diri
pribadi kreator. Sudut Pandang Orang Pertama bebas memilih—kata Josip
lagi—agama, politik, keindahan sendiri, yang mungkin, tetapi tidak harus, sama
seperti yang kreator miliki.
Dalam variasi
pendekatan Orang Pertama yang tradisional ini, Josip Novakovich menggunakan
konsep Sudut Pandang Beberapa Orang Pertama dan berganti-gantian
menampilkannya. Lazimnya, pada permulaan bab-bab baru dengan narator yang baru
pula. Kata Josip lagi, konsep ini merupakan strategi yang menawarkan jenis
suara, sudut pandang dan cara berpikir yang berbeda-beda.
Konsep Sudut Pandang
Beberapa Orang Pertama di mata kritikus lainnya—sebut Suminto A. Sayuti tidak masuk pengklasifikasian. Sayuti
(2000:157–165) menyebutkan sudut pandang orang pertama dalam dua jenis aspek, pertama
Sudut Pandang first person-central (akuan sertaan), dan kedua Sudut
Pandang first person peripheral (akuan tak sertaan). Demikian di mata
Tarigan (2008:136–141) sudut pandang orang pertama dibagi menjadi dua jenis
aspek Sudut Pandang yang Berpusat Pada Orang Pertama (first person central
point of view) dan Sudut Pandang yang Berkisar Sekeliling Orang Pertama (first
person peripheral point of view).
Untuk Sudut Pandang
Beberapa Orang Pertama mungkin menjadi solusi yang baik untuk menulis cerpen,
khususnya jika cerita berpusat pada sebuah konflik yang tajam, kata Josip.
Namun, sekalipun demikian karena cerpen harus membentuk sebuah fokus dengan
cepat dan mempertahankan fokus itu, berpindah-pindah sudut pandang mungkin
dapat mengganggu jalan cerita. Sebab itu, Josip juga memberikan konsep yang
ketiga tentang sudut pandang yaitu Narator Orang Pertama yang Tidak Bisa Dipercaya.
Konsep ini diakui oleh Josip bahwa kita menemukan paradigma yang paling
sederhana tentang narator yang tidak bisa dipercaya, dalam cerita fabel tentang
anggur yang masam: Pembicara mengatakan bahwa dia sebenarnya tidak menginginkan
anggur itu, yang menurutnya terlalu hijau, padahal sudah jelas dia
menginginkannya tetapi tidak bisa mendapatkannya.
[1] Anton Kurnia, Ensiklopedi Sastra Dunia, (2006), hlm. 7. Sebagian
kecil La Divina Commedia telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh
Anton Kurnia, sebagian di antaranya dipublikasikan di rubrik puisi harian Jawa
Pos (2002).
[2] Dalam sastra Barat, menurut panjang pendeknya, cerpen (short story)
dibagi menjadi tiga yaitu cerpen pendek (short short stories), cerpen
biasa (short stories), dan cerpen panjang (long short stories).
Lihat Hermawan Aksan, Proses Kreatif Menulis Cerpen, (2011), hlm. 21.
[3] Cerpen pilihan Kompas 2010, Dodolitdodolitdodolibret,
(2011), hlm. 85. Solilokui Bunga Kemboja oleh kritikus Arif Bagus
Prasetyo dinilai sebagai cerpen bertema klasik populer dengan gaya
romantis-sentimentil populer.
[4] Suminto A. Sayuti, Teks Sastra: Komunikasi dan Resepsi, (Diktat 2008),
hlm. 2. Sayuti menulis, tugas kritikus sastra adalah menilai karya-karya pada
masa kini dalam pertentangannya dengan kaidah-kaidah yang sudah tetap. Kritikus
juga menentukan apakah karya-karya tersebut cukup memadai dalam mempraktikkan
puitika yang sudah mapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar